Alkisah, seorang
pemabuk berjalan sempoyongan pulang ke rumah di malam hari. Di tengah
jalan, ia dicegat oleh dua orang begal. “Serahkan semua uangmu!” kata
salah satu dari perampok.
Si pemabuk dengan gemetar meraba-raba kantung bajunya untuk mencari sisa uang yang barangkali masih ada. Dengan setengah sadar, ia masih ingat sepertinya masih punya uang di kantung bajunya. Tapi, ia heran karena tangannya tak menemukan apa-apa.
“Kalau kamu tidak menyerahkan uangmu, kamu akan kami bunuh!” perampok kedua mengancam sambil menempelkan ujung pisaunya di leher si pemabuk. Dengan gemetar, si pemabuk menjawab, “Beri aku waktu sebentar.” Perampok itu menarik kembali pisaunya.
Pemabuk itu lalu berlutut di tanah, kedua telapak tangannya menengadah ke langit. Ia berdoa di dalam hati, “Tuhan, tolonglah aku. Jika Engkau selamatkan aku dari para perampok ini, aku berjanji tidak akan mabuk-mabukan lagi.”
Begitu selesai berdoa, ia merasa ada sesuatu yang jatuh dari dalam bajunya. Ternyata sekeping uang perak. Menyadari bahwa ia sudah mendapatkan apa yang ia butuhkan, ia segera melanjutkan. “Tuhan, lupakan doaku.”
Ini hanya anekdot lawas. Mungkin Anda sering menjumpainya dalam versi yang berbeda. Seperti biasa, anekdot ini menyindir perilaku kita lewat kelakuan si pemabuk. Pemabuk itu menganggap uang yang jatuh di dalam bajunya bukan pemberian Tuhan atas doanya sehingga ia punya alasan untuk tetap mabuk-mabukan lagi.
Ini persis seperti kelakuan kita. Kita begitu mudah berjanji, sering kali atas nama Tuhan, dan begitu mudah pula melupakannya. Saat dilantik memegang jabatan atau profesi, kita bersumpah. Saat menikah, kita berjanji. Waktu berbisnis dengan orang lain, kita juga berjanji. Tapi betapa mudah kita melanggar janji yang sudah kita sepakati itu. Lebih buruk lagi, kita tidak pernah mau mengakui bahwa kita telah melanggar janji. Kita menganggap gaji yang kita terima atau kesetiaan pasangan itu sebagai uang koin yang jatuh begitu saja dari baju kita. (Intisari)
sumber
Si pemabuk dengan gemetar meraba-raba kantung bajunya untuk mencari sisa uang yang barangkali masih ada. Dengan setengah sadar, ia masih ingat sepertinya masih punya uang di kantung bajunya. Tapi, ia heran karena tangannya tak menemukan apa-apa.
“Kalau kamu tidak menyerahkan uangmu, kamu akan kami bunuh!” perampok kedua mengancam sambil menempelkan ujung pisaunya di leher si pemabuk. Dengan gemetar, si pemabuk menjawab, “Beri aku waktu sebentar.” Perampok itu menarik kembali pisaunya.
Pemabuk itu lalu berlutut di tanah, kedua telapak tangannya menengadah ke langit. Ia berdoa di dalam hati, “Tuhan, tolonglah aku. Jika Engkau selamatkan aku dari para perampok ini, aku berjanji tidak akan mabuk-mabukan lagi.”
Begitu selesai berdoa, ia merasa ada sesuatu yang jatuh dari dalam bajunya. Ternyata sekeping uang perak. Menyadari bahwa ia sudah mendapatkan apa yang ia butuhkan, ia segera melanjutkan. “Tuhan, lupakan doaku.”
Ini hanya anekdot lawas. Mungkin Anda sering menjumpainya dalam versi yang berbeda. Seperti biasa, anekdot ini menyindir perilaku kita lewat kelakuan si pemabuk. Pemabuk itu menganggap uang yang jatuh di dalam bajunya bukan pemberian Tuhan atas doanya sehingga ia punya alasan untuk tetap mabuk-mabukan lagi.
Ini persis seperti kelakuan kita. Kita begitu mudah berjanji, sering kali atas nama Tuhan, dan begitu mudah pula melupakannya. Saat dilantik memegang jabatan atau profesi, kita bersumpah. Saat menikah, kita berjanji. Waktu berbisnis dengan orang lain, kita juga berjanji. Tapi betapa mudah kita melanggar janji yang sudah kita sepakati itu. Lebih buruk lagi, kita tidak pernah mau mengakui bahwa kita telah melanggar janji. Kita menganggap gaji yang kita terima atau kesetiaan pasangan itu sebagai uang koin yang jatuh begitu saja dari baju kita. (Intisari)
sumber
Begitu Mudahnya Kita Berjanji
Reviewed by Afrianto Budi
on
Selasa, Mei 15, 2012
Rating:
Tidak ada komentar:
Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini