Agar diterima
bekerja di suatu perusahaan, ada yang lalu mencoba menyiasati psikitotes
dengan berbagai cara. Misalnya, dengan mempelajari buku "petunjuk
praktis" menghadapi tes tahap awal seleksi itu. Mujarabkah kiat itu?
Dalam pelaksanaan evaluasi psikologis (pengganti istilah psikotes, psychotest, yang
dirasakan janggal oleh kaum psikolog) diterapkan berbagai metode atau
alat standar untuk mendapatkan gambaran mengenai aspek-aspek psikologis
seseorang. Gambaran aspek tersebut didapatkan sesuai dengan maksud
diadakannya evaluasi. Jadi, ada gambaran mengenai aspek kecerdasan,
kepribadian, kemampuan berkomunikasi, dan semacamnya.
Dalam pelaksanaan evaluasi psikologis, hasilnya dipakai untuk
menentukan dapat atau tidaknya seseorang diterima bekerja. Minimal,
evaluasi psikologis akan memberikan gambaran mengenai aspek kecerdasan,
kepribadian, dan sikap kerja. Dalam aspek kecerdasan, misalnya,
didapatkan gambaran mengenai taraf atau tingkat kecerdasan umum, daya
analisis sintetis, daya abstraksi dan kreativitas.
Dalam aspek kepribadian, tergambar pula kepercayaan diri, penyesuaian
diri, pengungkapan diri, kemampuan sosial, kemampuan berkomunikasi,
dsb. Dalam aspek sikap kerja, minimal ada gambaran aspek kecepatan
kerja, ketelitian, ketekunan, dan daya tahan terhadap stres.
Dalam penerapan evaluasi psikologis yang lebih mendalam, dari aspek
kepribadian bisa didapatkan gambaran mengenai kecenderungan menonjolkan
diri, keinginan bergaul atau berteman, dan pemahaman terhadap orang
lain. Dari aspek sikap kerja, bisa diperoleh gambaran tentang hasrat
berprestasi, keinginan membantu orang lain, kebutuhan terhadap
keteraturan atau bimbingan dari atasan maupun orang lain. Juga hasrat
terhadap perubahan, kecenderungan mendominasi, kecenderungan
agresivitas, dll.
Itulah sebabnya, walaupun telah hafal di luar kepala isi buku
jimatnya, Aji baru lulus pada "tes" kelima. Sebab buku itu sebenarnya
hanya mengungkap satu aspek: aspek kecerdasan. Itu pun tidak secara
akurat. Lalu kalau lolos, Aji belum tentu berhasil melewati tahapan
seleksinya.
Harus "bebas budaya"
Metode, alat, atau perlengkapan untuk mengungkapkan aspek psikologis,
selalu standar. Artinya, tidak dibuat dan disusun sembarangan karena
hasilnya harus reliable, dapat dipercaya. Jadi, apa pun alat
yang dipakai, hasilnya akan selalu ajek, sama. Misalnya, bila seseorang
dites dengan suatu alat tertentu, hasilnya menunjukkan tingkat
kecerdasan oknum itu berada pada taraf rata-rata tinggi (high average). Bila dia dites lagi dengan alat berbeda, hasilnya tetap harus tinggi juga.
Hasil tersebut akan tetap selalu reliable, karena sebelum suatu tes go public (dipergunakan
secara luas), harus mengalami rangkaian uji coba yang panjang dan
akurat. Suatu tes asal luar Indonesia, hams mengalami penyesuaian dan
"penyelarasan" dengan sikon sosial-budaya Indonesia.
Tes itu akan diuji di berbagai daerah, terhadap berbagai tingkatan
sosial-pendidikan dulu, sebelum secara resmi dipakai di Indonesia.
Terutama kalau soal-soal (items) tes tersebut memakai banyak
"kata" (words) yang mengungkap pengetahuan yang banyak kaitannya dengan
aspel sosial-budaya suatu negara (misalnya, judul buku, nama pahlawan,
istilah, pepatah). Sebab, ilmu psikologi mengenal istilah tes "bebas
budaya" (cukurcd-free), yang tidak mengandung kata-kata khusus, juga pengerjaan jawaban hanya berdasarkan logika - yang secara universal pasti sama.
Dalam tes bebas budaya ini pun, psikolog tetap hams berhati-hati.
Mengingat tolok ukur untuk membaca hasil tes di suatu negara asal tes
yang sangat maju, tidak begitu saja dipakai untuk membaca hasil dari
negara yang kondisi sosial-ekonomi- budayanya, belum semaju negara
pertama.
Evaluasi psikologis mencakup lima hal: kecerdasan, kemampuan khusus
(keuangan, teknik, komunikasi, menjual, dsb.), bakat, minat, dan sikap.
Hasil tes bakat dan minat, dapat berupa panduan mengenai minat
seseorang. Misalnya, minat kepada hal yang berkaitan dengan angka,
kegiatan luar dan dalam ruang, berkomunikasi, perhatian terhadap hal
yang berkaitan dengan ilmu pasti atau seni-budaya.
Sedangkan hasil tes sikap berupa ukuran dari sikap seseorang terhadap
suatu permasalahan. Tes kepribadian dapat berupa rangkaian pertanyaan,
tugas menggambar atau tes grafts yang berlandasan sama dengan
grafologis. Tes ini menilai coretan tangan hasil penerusan "getaran"
dari dalam p: subjek atau testee (orang yang diperiksa atau
dites) diminta mengungkapkan kesan atau persepsinya tentang suatu
situasi, atau terhadap suatu gambar dan rangkaian gambar. Kesan orang
normal, pasti berlainan dengan orang yang mengalami gangguan psikologis.
Di bidang pendidikan, umum sudah mengenal tes IQ (intelligent quotient
angka penunjuk kecerdasan). Hasil tes IQ dapat dibaca dengan Skala
Wechsler atau Skala Stanford-Binet. Mereka itulah pakar yang melakukan
berbagai penelitian, lalu berhasil menetapkan skala angka yang
menunjukkan tingkat kecerdasan. Kedua skala tersebut berbeda sedikit
sekali.
Menurut Skala Binet, seseorang yang bertingkat kecerdasan normal
mempunyai IQ antara 90 dan 109. IQ 80 - 89 berarti tingkat kecerdasannya
rata-rata rendah. Kalau 70 - 79, artinya berada pada skala "ambang
batas" {borderline defective). Kalau di bawah ini, artinya seseorang mengalami defektif secara mental.
Secara lebih rinci dapat disebutkan bahwa IQ 68 - 83 adalah borderline mentd retardation, 52 - 67 mM mental retardation, 36-51 moderate mental retardation, dan IQ di bawah angka 19 adalah profound mental retardation. (Mental retardation = cacat mental).
Sedangkan IQ di atas rata-rata adalah: 110 - 119 termasuk mempunyai kecerdasan rata-rata tinggi (high average), 120 - 139 superior, 140 - 169 sangat superior, dan di atas 170 termasuk kelompok jenius.
Dalam evaluasi psikologis di bidang industri, taraf kecerdasan
umumnya tidak ditunjukkan dengan angka IQ atau skala kuantitatif, tetapi
memakai skala kualitatif: kurang, rendah, rata-rata rendah, ratarata,
rata-rata tinggi, tinggi, dan tinggi sekali.
Tes bakat atau minat, juga banyak digunakan dalam bidang pendidikan.
Mereka yang ragu-ragu memilih jurusan, dapat memanfaatkan jasa psikolog
untuk mengetahui kecenderungan yang mereka miliki. Dengan demikian ia
dapat memutuskan bidang yang sesuai minat atau bakatnya.
Hafal pun percuma
Di bidang industri, evaluasi psikologis tidak hanya dipakai untuk
melengkapi tahapan seleksi, seperti pengalaman Aji. Tapi juga untuk
keperluan inventarisasi kematnpuan karyawan (yang sudah bekerja di
perusahaan). Di sini evaluasi psikologis dilaksanakan terhadap beberapa
karyawan. Dari hasilnya dapat diidentifikasikan karyawan mana yang
berpotensi untuk dikembangkan, siapa yang kurang, serta siapa saja yang
sudah mentok.
Dari hasil itu, pengembangan SDM (sumber daya manusia) di perusahaan
diharapkan tidak salah pilih, atau terpilih kalau keliru arah
pengembangannya. Tentu saja alat evaluasi itu mencakup suasana kerja
juga. Hasil ini dapat mengungkap potensi seseorang - baik yang sudah
kelihatan maupun yang belum.
Evaluasi psikologis juga dipakai dalam seleksi. Namun hasilnya harus
disesuaikan dengan jabatan yang akan diisi. Istilah teknisnya,
disesuaikan dengan job requirement jabatan tersebut. Kalaulah
perusahaan mencari orang-orang bertingkat kecerdasan rata-rata atau
lebih, orang ekstrovert dan menyukai kegiatan luar ruangan seperti Aji
pasti tidak akan cocok untuk pekerjaan pembukuan atau audit. Atau
jabatan wiraniaga, pasti tidak cocok bagi orang pandai tapi sangat
introvert.
Kecenderungan dasawarsa terakhir ini, untuk posisi wijawiyata manajemen (management trainees), perusahaan
tidak lagi begitu memperhatikan disiplin ilmu pelamar yang sarjana.
Karena lulusan SI dianggap tingkat kemampuan berpikirnya dapat diisi
dengan tuntutan yang sesuai untuk jabatan manajerial.
Maka jawaban tepat terhadap pertanyaan Aji: "Kerjakan sebaikbaiknya
dan semampumu." Kalaupun ada soal-soal evaluasi psikologis yang sudah
dihafal karena sudah berkali-kali diikuti hingga hasilnya "dapat
direkayasa", tetap saja ada jenis evaluasi yang dapat mengungkapkan
keadaan sebenarnya. Siapa mau menghafalkan tes grafts? Siapa yang mau
mengubah bentuk tulisan tangannya, hanya untuk kesempatan evaluasi
psikologis sesaat? Selain itu masih ada tahapan wawancara - yang kalau
dilakukan dengan mendalam, teliti, dan akurat, pasti akan menggali lebih
meyakinkan lagi.
Itulah sebabnya kalau proses seleksinya baik dan akurat, artinya
tidak memakai uang pelicin, koneksi, atau katebelece, ada orang-orang
yang pasti tidak akan diterima untuk jenis pekerjaan tertentu, tetapi
sesuai untuk jenis pekerjaan yang lain. Hal ini sering disalahartikan.
Banyak yang mengira seseorang diterima bekerja, setelah mengikuti
evaluasi psikologis berkali-kali. Padahal ia murni diterima, karena
tuntutan pekerjaannya sesuai dengan aspek yang dipunyainya.
Kegagalan jenis lain, mungkin seseorang berhasil melewati tahapan
evaluasi psikologis, tetapi gugur di tahapan seleksi berikutnya. Berarti
ia gagal "membuat diri sesuai" dengan tahapan yang diikutinya. Atau
malah, ia kalah bersaing dengan pelamar lain yang lebih baik
kualitasnya.
Dalam hal terakhir, apa boleh buat. Karena bebas memilih, perusahaan
lebih suka mendapat karyawan yang diperkirakan akan memberi kontribusi
lebih banyak, dibandingkan dengan calon karyawan yang kontribusinya
rata-rata saja. Anda sendiri juga akan lebih memilih orang yang berdaya
guna lebih daripada yang berdaya guna kurang atau rata-rata, bukan?
Ada hal yang perlu diperhatikan. Di dunia seleksi dikenal istilah 10 :
2 : 1. Artinya: untuk 2 jabatan (posisi) lowong yang sama, akan ada 2
dari 10 pelamar yang diterlima. Tapi perusahaan hanya akan menemukan 1
orang yang sesuai betul dengan jabatan lowong tersebut. Jadi, kalaupun
posisi lowong itu terisi, satu posisi lain akan diisi orang yang
sebetulnya kurang sesuai. Saat ini kualitas pelamar sudah dianggap lebih
baik, perbandingannya berubah menjadi 15 : 3 : 2. (Kumpulan Artikel Psikologi 1)
Sumber
Sumber
Bisakah Psikotes Diakali?
Reviewed by Afrianto Budi
on
Senin, Mei 14, 2012
Rating:
Tidak ada komentar:
Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini