banner image

Ketika Agama Dijadikan Mesin Politik

fimadani.com


Islam, sebagai agama terbesar di dunia adalah wujud implementasi kultur dan budaya keyakinan yang mengantarkan kehidupan manusia agar selaras dan harmoni dengan lingkungannya. Sehingga sebagai agama “penyempurna” dari agama-agama terdahulu, Islam telah menawarkan sesuatu yang baru dan modern di masanya, ketika manusia terbelenggu dalam ketidakpastian hidup dan terbutakan nafsu dalam mengejar kekayaan dan kekuasaan. Islam mengajarkan untuk berbagi dan bertoleransi.

Oleh karenanya, sebagai seorang muslim saya berkeyakinan bahwa aturan dan hukum Islam sejauh logika saya bermain, adalah pilihan terbaik dalam menghadapi masa-masa sulit seperti saat ini dalam memberikan panduan tidak saja dalam menghadapi persoalan yang bersifat “hablum minallah”, namun juga “hablum minannas”. Nabi besar Muhammad SAW pun memberikan contoh tauladan dalam menerapkan Islam di berbagai sendi kehidupannya, baik dalam berpolitik, menjalankan ekonomi maupun bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya yang secara singkat dapat saya simpulkan jujur, amanah dan toleransi. Inilah hal yang saya yakini hingga saat ini.

Namun seiring dengan perjalanan waktu, Islam pun kini berwajah banyak sehingga sulit membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Islam yang saya jumpai sehari-hari di bumi nusantara ini justru jauh dari kata jujur apalagi amanah. Islam yang damai justru dijadikan “topeng” oleh kelompok-kelompok tertentu dengan berseragam putih-putih bak seorang malaikat mengusik keamanan dan kedamaian sosial masyarakat. Sebut saja FPI dengan topeng islamnya justru menodai kebersihan islam sebagai agama yang damai dan bertoleransi.Mereka mengancam, mengintimidasi, menutup jalan demi kepentingan-kepentingan mereka dengan menjadikan islam sebagai alasan dan pembenaran berbagai tindakan penistaan dan kemaksiatan yang mereka lakukan. Pemerintah dan aparat berwenang pun mandul dibuatnya, karena “wajah” islam yang begitu menakutkan bagi masyarakat pun sama menakutkannya bagi pemerintah, atau bahkan “wajah-wajah” islam ini “dimanfaatkan” demi kepentingan dan keinginan “penguasa”, tentunya dengan imbalan. Di jalan tempat saya menuju ke tempat saya berdagang di Jakarta, tepatnya kampung tengah, Jaktim salah seorang kandidat Gubernur ibukota pun tak ayal memanfaatkan “jasa” ormas FPI untuk memenangkan pemilukada yang akan datang. Bahkan di salah satu spanduk dengan berani mereka “mewakili” masyarakat kampung tengah mendukung gubernur yang telah memberikan imbalan kepada mereka. Siapa elo?

Sementara nun jauh di ujung sebelah barat bumi Nusantara, negeri bersyariat Islam pertama dan satu-satunya di indonesia juga tidak luput dari penistaan agama dan ulama. Seorang sahabat di kompasiana minggu lalu sempat menulis bagaimana di Aceh, gereja dibredel dan tidak diizinkan beroperasi dengan alasan peraturan pemda yang mengharuskan adanya kuota minimal dalam memberikan izin pendirian rumah ibadah. Yang lebih gila lagi adalah MUI di daerah Singkil (nama daerah di Aceh) mengharamkan tanda tangan masyarakat yang mengizinkan pendirian rumah ibadah di wilayahnya selain mesjid. Ini gila. Bahkan Islam yang dibawa Rasullulah pun tidak pernah mengajarkan kita untuk tidak bertoleransi terhadap agama lain.

Penistaan terhadap agama bukan satu-satunya hal yang bathil bagi daerah yang berpenduduk mayoritas muslim ini. Negeri Syariah ini bahkan telah menistakan ulama-ulamanya sendiri hanya karena berbeda dalam pandangan politiknya. Seperti yang terjadi bulan September tahun lalu di Jiem-Jiem Kabupaten Pidie, Seorang khotib yang sedang memberikan khotbah Jumat diseret oleh 8 jamaah dan dianiaya hingga terluka parah hanya karena alasan tidak sependapat dengan arah politik jamaah jumat. Memang, kawasan Pidie adalah daerah basis kekuatan para mantan eks kombatan GAM. Namun apakah “perbedaan” itu sulit untuk diterima bahkan di tempat sesuci masjid? Masyaallah.Di Aceh Besar, Ulama besar sekelas tengku Abu Hanifah pun tak luput dari sasaran keji penistaan ulama. Ia dituduh balik menculik Tgk Saleh yang sebelumnya telah merusak nama baik Abu Hanifah dengan sebutan “ulama saleb buta” (ulama aliran sesat). Ironis dan menyedihkan.

Syariat Islam di Aceh adalah previlage dari Pemerintah Indonesia yang patut disyukuri oleh seluruh masyarakat Aceh. Penerapan syariah Islam di Aceh merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap kehidupan sosial dan budaya Aceh yang kaya akan nuansa islami sehingga menjadi bagian dari keistimewaan Aceh di tengah puluhan daerah lainnya di Indonesia. Namun demikian, “keistimewaan” ini hendaknya disikapi secara arif dengan tidak menjadikannya “topeng” untuk menutupi niat dan prilaku busuk seperti yang ditunjukkan para elit PA tersebut. Islam bukanlah topeng suci untuk menutupi prilaku minus para elit politik dan pejabat yang senang mempermainkan kekuasaan. Islam juga bukan mesin politik yang dipergunakan untuk mendulang dukungan di tengah carut marutnya situasi politik dan demokrasi saat ini. Islam adalah Islam, pedoman yang memberikan panduan kepada kita semua untuk menuju kebaikan dan keselamatan dunia akhirat, bukan demi kekuasaan ataupun kepentingan. Ingat itu!


Sumber: Kompasiana
Penulis : Sukito Wibowo
Ketika Agama Dijadikan Mesin Politik Ketika Agama Dijadikan Mesin Politik Reviewed by Afrianto Budi on Senin, Juni 25, 2012 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini

Diberdayakan oleh Blogger.