Saya keluar dari studio dengan campur aduk, yang pertama-tama adalah semacam umpatan, betapa Garin dan teman-teman tidak mau memuaskan saya dengan nafsu-nafsu sentimentil apapun. Saya tidak diijinkan marah, saya tidak diijinkan menangis. Tidak ada yang dibiarkan klimaks. Ya, setiap emosi mulai agak naik segera dihabisi dengan adegan demi adegan yang lain. Sangat kejam, sejenis disiplin dingin yang lahir dari pemahaman misterius mentor yang terlatih. Apakah ini ciri khas Katolik, ala tawasuth teman-teman NU, atau dinginnya Garin sebagai mahaguru persilatan audiovisual saya tidak tahu. Maka kalau ada yang sedikit kecewa setelah melihat film ini, itu wajar. Karena film ini tidak memanjakan penonton dengan alur emosional dan narasi yang rapi tertata, tidak juga dengan kisah-kisah besar yang mudah dilekatmanjai oleh kesadaran penonton. Film ini juga bukan realitas selapis yang mudah dikupas, Kita berhadapan dengan lapisan-lapisan simbolik yang tak bisa terurai tanpa pisau tajam analisa. Ini adalah sebuah film yang menuntut dan menantang, yang tidak akan membiarkan penonton pulang tanpa tanda tanya yang harus dijawab dan diolahnya sendiri. Yang jelas, seakan niat menghibur teman-teman lintas iman yang nonton bersama pun sepertinya tidak kesampaian, saya lebih merasa diajak ikut latihan silat, lengkap dengan kutipan-kutipan misteriusnya.Malam ini, selepas nonton film Soegija, dada saya tidak sesak, tetapi kepala pening mengurai tanda-tanda. Kalau ada yang bilang ini adalah film Garin yang ceritanya paling mudah dipahami, itu bohong. Kalau ada yang bilang kalau film ini gampang dinikmati, dia bohong, atau pura-pura tidak tahu atau sopan santun normatif, pertama karena film ini erat terkait dengan agama tertentu (Katolik) yang jelas cukup merikuhkan publik kebanyakan untuk mengkritiknya (apalagi kalau juga komentatornya juga Katolik yang santun); kedua, karena Garin terlanjur terlalu besar untuk dipertanyakan. Tetapi sudahlah, saya hanya ingin membuat catatan pendek dan sederhana tentang film ini.
Film ini Katolik tetapi juga tidak Katolik : ada
begitu banyak simbol Katolik dipergunakan, tetapi ia tidak bermakna
apa-apa dalam kisahnya. Film ini berjudul biografi sesorang, tetapi kita
tidak menemukan kisahnya. Film ini tentang masa lalu tetapi ia lebih
banyak berbicara tentang kekinian. Film ini tentang tokoh utama yang
berwajah sangat serius, tetapi sebagian kemunculannya justru tidak
pernah serius. Ini film tentang peperangan tetapi hemat darah dan
dipenuhi anak-anak yang penuh canda. Jadi mas Garin, ini film tentang
apa ? Kecurigaan saya, memang sangat disengaja-terencana-sistematis
kepada kita dilemparkan sebuah tanda tanya. Semuanya sengaja tidak
dibiarkan tuntas.
Maka mengolah gelisah, saya dan sobat saya
berdiskusi di teras rumah di remang malam di sudut selatan kota.
Berbincang mencoba mengurai lapisan demi lapisan, yang disembunyikan mas
Garin dan teman-teman, atau juga lapisan yang tak sengaja tercipta
lantaran dinamika kisah, emosi, suara, dan rupa yang berguliran
sepanjang film.
Saya lupa untuk menghitung berapa jumlah lagu Katolik dipergunakan di dalamnya. Tetapi lagu “Ndherek Dewi Mariyah” jelas
tidak terlupa. Tetapi entah mengapa nuansa Katolik tidak sedemikian
terasa di dalamnya, saya justru merasakan aroma kerumitan semiotika.
Maka tuduhan miring bahwa ini film Katolik yang bertujuan kristenisasi
itu jelas keliru, jangankan mereka yang bukan katolik, saya yang merasa
diri agak Katolik, dan berharap bisa menjadi lebih Katolik setelah
menonton film ini (ciee….) pun ternyata tidak kesampaian. Bukan, sama
sekali bukan, ini bukan film Katolik. Ini film tentang kemanusiaan,
bukan dari kacamata romantis-sentimental, tetapi kemanusiaan sebagai
filosofi kehidupan.
Film ini berjudul Soegija, seorang uskup pribumi
pertama, tetapi kita menemukan sang tokoh utama hanya menjadi bingkai
dari dinamika batin beberapa kisah kecil yang terajut di dalamnya.
Soegija adalah bingkai pokok kepemimpinan moral dan politis, dirajut
dalam narasi historis oleh penyiar RRI (mas Margono, penyiar Jawa
favorit saya). Di dalamnya, di dalam skenario Soegija (sebagai film) kita menemukan sosok-sosok kecil yang mengisi Soegija sebagai ideal moral. Dengan jenius, Garin menyalin dan menulis rakyat jelata yang ada di hati Soegija-historis melalui sosok-sosok tokoh rekaan dalam Soegija-film. Jadilah kita bertemu Mariyem, Ling Ling, remaja kampung pejuang, Robert
sang komandan tentara Belanda, Hendrick wartawan Belanda, pejuang
kampung yang lugu dan anak kuncung yang terdidik, tentara Jepang, dan
lain-lain. Pada level ini, tidak ada yang protagonis, tidak ada yang
antagonis. Semua adalah peziarah pergulatan hidupnya masing-masing.
Meniru kata-kata Soegija : di rumah sakit ini, semua adalah pasien.
Film ini berjudul biografi sesorang, tetapi kita
tidak menemukan kisahnya. Bagi teman bincang saya malam ini, seorang
pemikir muda muslim, pertanyaan-pertanyan besar tentang biografi Sugiyo
itu tidak terjawab. Teman saya datang membawa pertanyaan-pertanyaan besar, tetapi Garin menyediakan jawaban-jawaban kecil.
Bagaimana Romo Kanjeng berdiplomasi dengan Vatikan, kesibukan menulis
surat-surat, diplomasi, dan sebagainya. Bagaimana Bapa Uskup intensif
berkirim surat ke negeri Belanda, khususnya ke Partai Katolk Belanda
untuk menekan pemerintah RI, atau menulis ke media AS untuk meraih
dukungan publik dalam negeri AS.
Teman saya jelas juga tidak sempat bertemu dengan pemuda Moenajat yang
mewakili Romo Kanjeng dalam perundingan Konferensi Meja Bundar atau
bagaimana Romo Kanjeng berkelana dari desa ke desa dengan dokarnya. Ini
adalah sebuah film, yang judulnya jelas biografis dan tentu juga
historis, tetapi isinya lebih banyak berbicara biografi batin
sang tokoh dan sejarah tercecer orang-orang di dalamnya. Ini adalah
sebuah film, yang tidak mengumbar informasi historis sang tokoh, tetapi
sarat informasi moral sang tokoh utama Soegija (juga tentu penulis
naskahnya hahaha ) melalui tokoh-tokoh di dalamnya.
Film ini tentang masa lalu tetapi ia lebih banyak
berbicara tentang kekinian. Masa lalu di dalam film ini bukanlah masa
lalu. Ia adalah masa kini yang diproyeksikan ke kelampauan. Maka film
ini dipadati dengan isu-isu kekinian : keberagaman lewat pengkisahan
lintas bangsa, karakter penguasa politik, dan seterusnya. Dan inilah
yang sesungguhnya terjadi, kita –bangsa ini- memang sedang sibuk mencari
dengan penuh kerinduan dan kepedihan jejak-jejak keutuhan dan kebajikan
di masa lalu.
Film ini ada pada kolom jawaban, jawaban dari
pertanyaan dan kerinduan-kerinduan besar negeri ini akan sosok pahlawan,
akan nilai-nilai agung kehidupan : Laskar Pelangi, Sang Pencerah, Tanda
Tanya, dan lain-lain. Film ini menawarkan pahlawan besar, seorang uskup
pribumi pertama negeri ini, tetapi ia justru lebih banyak berbicara
melalui pahlawan-pahlawan kecil (dan inilah kehebatannya!) : seorang
Mariyem (dengan kata-kata favorit saya sepanjang seluruh film : Saya Maria dan saya ibu semua orang yang ada di sini), penjual jamu gandring yang mengajar lelucon mengejek penjajah pada kanak-kanak yang gegojegan, anak kuncung yang pembawa
kecendekiaan (bukan manusia sempurna gagah perkasa tetapi si bocah
kuncung yang punya takut dan masih asyik bermain-main di tengah
peperangan), ibu ibu sepuh yang menjadi tulang punggung revolusi dan
mengurai konflik-konflik kecil peperangan, perawat-perawat yang tak
dikenal, dan lain-lain. Kalau film ini berbicara tentang harapan,
harapan itu ada pada pahlawan-pahlawan kecil negeri ini.
Politik ? Ya, film ini sangat verbal dalam politik.
Bagi saya, setelah semua kontrol alur yang sangat terkendali dari awal
hingga menjelang akhir, film ini akhirnya meledak dalam sebuah orasi
politik Soegija di penghujung film. Dengan tanpa sopan santun estetika
(“agar lebih nyeni”) Soegija berbicara kepada para penguasa jaman ini :
jadi politisi harus memiliki mental politik, kalau tidak ia hanya akan
menjadi benalu bagi bangsa ini.
Dan yang paling ajaib sekaligus paling saya sukai,
film ini adalah tentang tokoh utama yang berwajah sangat serius, tetapi
sebagian kemunculannya justru tidak serius. Ini film tentang masa perang
tetapi hemat darah dan dipenuhi anak-anak yang penuh canda. Ini adalah
film serius yang jenaka. Berapa banyak tokoh utama Soegija muncul tanpa
mengundang tawa ? Mulai dari jubah pentahbisan yang dikatakan mirip baju
barongsai, komentar tentang nyanyian koster, obrolan perjodohan koster,
dan lain-lain.
Daripada
sibuk merajut alur, pesan-pesan justru lebih banyak terasa masuk melalui
senggakan (selingan dalam musik Jawa) adegan yang jenaka. Bagi saya
inilah ciri khas dramaturgi nusantara yang dipahami betul Garin dan
teman-teman : masyarakat bernyanyi, masyarakat bergembira, masyarakat
bercanda. Bahkan di tengah-tengah peperangan dan lemah terbaring para
korban, alunan musik dan tetembangan tak pernah putus dilantunkan. Bagi
masyarakat nusantara, kegembiraan adalah doa setiap duka memiliki
nyanyian dan tariannya sendiri.
Adegan-adegan parodi disiapkan : rapat persiapan
Serangan Umum 1 Maret yang disela oleh antusiasme dan pertanyaan nakal
gadis muda dan anak muda pejuang di dalamnya, ada
gaya orasi yang nyleneh dan menyusupnya seorang pemuda lugu
menghentikan pidato, ada operasi perlawanan anak-anak, dan begitu banyak
kenakalan lain. Bagi para
penonton yang terlanjur bertumbuh dalam nalar urban yang serius, menatap
keusilan demi keusilan semacam ini mungkin menjadi sebuah siksaan.
Terlebih lagi, bagi mereka yang tak terbiasa bertemu dengan kultur
komedi Jawa, mungkin akan sedikit tersedak-sedak untuk mengunyahnya.
Bagaimanapun juga film ini penuh dengan “senggakan”.
Benar Parmin (Butet Kertaradjasa) memang dipasangkan menjadi panakawan Soegija, tetapi kita semua menjadi lebih pana
(mengerti) ketika kita bertemu seorang remaja yang sangat bersemangat
revolusi tetapi lugu, bodoh, dan buta huruf. Dan kekuatan dramatiknya
tak kalah dahsyat dengan sosok Marsiyem dalam kisah ini : ia adalah
metafor batin rakyat kebanyakan, yang terusik, tidak selalu mengerti apa
yang terjadi, tetapi memiliki niat tulus untuk memerdekakan dirinya.
Dahsyatnya, ia dipasangkan dengan seorang anak berkuncung yang sudah
terdidik : intelektualitas yang tampil gembira, lincah, nakal, tulus,
dan sederhana. Merekalah panakawan sejati bagi kita para penonton yang
terombang-ambing di arus jaman.
Operasi-operasi visual dibuat, adegan-adegan puitis
disisipkan, kalau film Garin sering disebut sebagai puisi, kali ini dia
menulis prosa liris yang sangat terkendali. Prosa liris dalam
dramaturgi tradisi kental yang –sebagaimana harmoni musik Jawa- menolak
memberi puncak demi terpeliharanya terus pencarian. Ini bukan film yang
mudah. Film ini adalah sebuah kaca patri di atas altar sejarah, wajah
Soegija terpampang di sana, terpotong-potong membiaskan warna-warni
cahaya. Dibingkai sejarah dunia dan catatan harian Sang Tokoh.
Film ini adalah sebuah kontainer, kontainer yang
sangat nakal, cerdas, dan jenaka. Ia suka memberi tanda-tanda, sebagai
kontainer ia akan bermakna –dan hanya bermakna- ketika menemukan
konteksnya. Terimakasih atas suguhan yang kaya nuansa, cerdas, jenaka,
dan nakal. Pesan berikutnya adalah : tontonlah dua tiga kali untuk bisa
menangkap lapisan demi lapisannya, mencerna setiap makna, mengolah
setiap adegan, menemukan keasyikan-keasyikan cerdas di dalamnya. Film
ini tidak boleh ditonton secara serius, juga tidak boleh memaksa diri
untuk menangis, marah, atau terbawa suasana. Ini bukan film semacam itu.
Anda harus menyimaknya. Tidak terbebani apapun, dan tidak mengharap
apapun. Setiap harapan akan menjerat kita pada posisi tertentu yang
membuat kita gagal menikmati.
Film ini adalah sebuah tanda tanya. Apa yang anda
harapkan tidak selalu akan kita temukan, tetapi ia siap memberikan
kejutan-kejutan nakal yang mengusik. Film ini adalah sebuah tanda tanya.
Ada apa sesudah tanda tanya : kerinduan memahami lebih jauh sejarah
kebangsaan, kerinduan membongkar sejarah Gereja Katolik Indonesia,
kebutuhan membaca profil Soegija yang sejati, kerinduan akan sosok
pahlawan, seterusnya, dalam diri setiap penonton lahirlah pertanyaan.
***
Oncek-oncek di teras rumah dengan seorang sahabat
pun berakhir tepat tengah malam. Kami menutup dengan obrolan mendalam
tentang Gereja Katolik Indonesia. Ibu yang misterius itu.
Di balik perubahan Mariyem menjadi Maria, ada rasa
cinta kepada sang wartawan di sana, ada semangat kemartiran terinspirasi
sang Bunda, juga ada narasi halus tentang leburnya yang Katolik dan
yang Indonesia . Mariyem bukan hanya personifikasi heroisme Soegija, ia
adalah personifikasi Gereja Katolik Indonesia. Yang bercita-cita tumbuh
dewasa memberi makna, tetapi terburu-buru ditinggal mati sang kakak
tercinta : semangat kebangsaan Indonesia.
Entah mengapa dalam diri Mariyem saya menemukan
Gereja Katolik Indonesia, kelembutan, ketegasan, dan kelincahannya, yang
kehadirannya terus-menerus menjadi sebuah kerinduan bagi saya.
Terimakasih atas gugatan yang indah atas nafsu
kenyamanan saya, pertanyaan saya kepada teman-teman semua : pertanyaan
apa yang kau miliki sesudah Soegija ?
Sesudah Soegija, 8 Juni 2012
Oleh Mas Lilik
Sumber: Kompasiana.com
Sesudah Soegija
Reviewed by Afrianto Budi
on
Senin, Juni 11, 2012
Rating:
Tidak ada komentar:
Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini