Ini adalah ringkasan dari laporan SETARA INSTITUTE
tentang tindak intoleran dan kekerasan atas nama agama di Jawa Barat.
Memang laporan tersebut tentang kasus-kasus di Jabar; tapi setelah
mempelajari kasus-kasus lai pada berbagai daerah di Nusantara, ternyata
proses terjadinya tak jauh berbeda. Ada kesamaan proses - prosedur -
perencanaan - terstruktur pada semua peristiwa intoleran (yang diikuti
dengan kekerasan dan kebrutalan) yang terjadi di Nusantara. Prosedur Tetap tersebut adalah,
- Membangun solidaritas kelompok Islam garis keras melalui dakwah. Sekalipun terlihat solid, sesungguhnya organisasi Islam garis keras hanyalah minoritas yang nyaring bersuara. Selebihnya adalah massa cair yang direkrut seketika atau diprovokasi agar ikut-mengikuti bersama mereka
- Solidaritas melalui dakwah instan. Memasang stiker dan spanduk penolakan, permusuhan. Setelah itu memperluas konstituensi dan dukungan publik dengan menyebarkan kebencian terhadap sasaran melalui spanduk penolakan dan bernada permusuhan. Selain sebagai sarana menghimpun dukungan publik, cara ini juga akan memberi legitimasi bagi mereka untuk bertindak. Pesan-pesan permusuhan tidak selalu atas nama organisasi Islam puritan, tapi bisa jadi tanpa nama, atau nama-nama yang diciptakan secara cepat dan mudah diingat publik
- Menggelar tabligh akbar dan membakar emosi umat. Road showmelalui pengajian dan tabligh akbar. Sejumlah kyai kondang dari Jakarta atau dari kota-kota lain biasanya diundang untuk bersama-sama membakar emosi umat. Materi dakwah selain dakwah murni, disisipkan juga pesan-pesan kebencian, disertai dengan argumen-argumen keagamaan yang ditafsir secara literal. Kegiatan tabligh akbar, selain menjadi sarana prakondisi yang berselang, biasanya juga dilakukan sebelum melakukan operasi
- Ancaman penghentian kegiatan ibadah. Berhasil menanamkan kebencian dibenak umat, kelompok Islam garis keras kemudian memberikan ultimatum dan ancaman penghentian aktivitas ibadah; ancaman ini disampaikan secara terbuka dengan alasan bahwa masyarakat resah
- Pemda berinisiatif memfasilitasi dialog. Prakondisi yang sudah dibangun kemudian memikat pemerintah daerah untuk memfasilitasi dialog antara organisasi Islam garis keras dengan kelompok-kelompok yang menjadi sasaran tembak. Dalam dialog ini selain jumlah massa yang tidak imbang, karena selain aparat pemerintah daerah, dialog selalu melibatkan MUI setempat, Pejabat Departemen Agama, Tokoh masyarakat plus organisasi Islam garis keras itu sendiri. Dialog tidak pernah menemukan jalan keluar kecuali tekanan berlapis; jika terkait rumah ibadah), maka atas nama ketertiban dan keamanan, pemerintah daerah akan mengikuti kehendak kelompok Islam garis keras
- Tekanan melalui surat pernyataan. Ujung dari proses-proses dialog adalah surat pernyataan di bawah tekanan. Surat pernyataan berisi ‘kesediaan’ untuk tidak melakukan aktivitas ibadah secara terbuka, ‘kesediaan’ membongkar bangunan yang ditentang
- Muspida mengeluarkan SKB atau produk kesepakatan. Atas nama ketertiban dan keamanan, pemerintah daerah bersama jajaran Muspida mengeluarkan Surat Keputusan Bersama yang berisi larangan aktivitas ibadah, larangan penyebaran, dan seterusnya
- (jika tidak berhenti maka terjadi) Penyerangan oleh massa. Setelah semua tahapan dilalui, organisasi Islam garis keras ini mendapati legitimasi untuk melakukan tindakan eksekusi - bertindak atas nama pemrentah, atas nama surat pernyataan, skb, fatwa, dan lain sebagainya
- Bupati melalui satpol PP melakukan penyegelan. Satpol PP bersama organisasi Islam garis keras, mewakili (dan atas nama) pemerintah daerah dan berbekal Surat Perintah dari Bupati, kemudian melakukan penyegelan
- Pembiaran oleh Polisi. Setelah terjadi penyegelan yang tidak jarang disertai dengan kekerasan, atas nama penegakan hukum Polisi justru turut serta bersama Satpol PP melakukan penyegelan. Pada saat yang bersamaan Polisi juga membiarkan anarkisme massa yang melakukan pengrusakan. Jika pun Polisi melakukan penjagaan dan perlindungan, selalu berdalih bahwa aparat yang ada tidak mencukupi untuk menghalau massa. Di sinilah tindakan aktif polisi dan aparat pemda bisa dikualifikasi melakukan pelanggaran HAM karena turut serta melakukan pelanggaran hak untuk beribadah/berkeyakinan
WASPADA. Ada banyak protes terhadap tulisan kemarin (melalui Inbox FB dan kompasiana), intinya mengatakan, “kita harus waspada;” dan menurut saya, waspada dan kewaspadaan tersebut, benar dan harus terjadi.
Waspada dan kewaspadaan tersebut, bukan hanya milik mereka yang minoritas, tetapi semua warga NKRI, yang masih cinta dama dan perdamaian; yang masih waras; yang masih menghargai nilai-nilai serta harkat manusia dan kemunisaan; yang masih toleran; yang masih memandang perbedaan sara sebagai suatu kekayaan dan kehormatan. Oleh sebab itu, perlu langkah-langkah antisipasi, yang bisa kita kerjakan dan lakukan, misalnya
- perhatikan, pahami, bila perlu sebarkan gejala-gejala dan tanda-tanda prosedur tetap no 1 - 10 di atas; jika no 1 sudah terjadi, maka akan berlanjut pada tahapan-tahapan berikutnya
- kepekaan terhadap siapa pun; peka terhadap gerakan-gerakan orang-orang dengan tanda serta wajah garang dan intoleran (yang tak dikenal, datang dari luar) dan berada di sekitar lingkungan anda (rt, rw, kelurahan, dan lain sebagainya); biasanya mereka suka melakukan wawancara informal, sambil berupaya mengumpulkan informasi dan mengprovokasi masyarakat
- sedapat mungkin membuka cakrawala masyarkat sekitar tentang toleransi dan intoleran, kesamaan serta persaudaaan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai Pancasila, dan perlu terciptanya damai dan perdamaian bangsa untuk menuju kemajuan
- membangun komunikasimas dan berkomunikasi dengan orang-orang sekitar, tentang adanya keakraban sosial, sebagai salh satu kekuatan untuk menghadang segala bentuk benturan akitat provokasi - masukan-masukan yang merusak hubungan antar manusia
- jika menermukan tulisan/stiker/spanduk yang berisi - bernada provokasi, menghujat, menghina, sentimen sara, dan sejenisnya, maka segera melapor ke rt/rw/lurah/polisi; akan tetapi, biasnaya mereka ogan-ogahan dan cuek, apalagi jika mereka juga merupakan orang-orang yang radikal, rasis, intoleran, oleh sebab itu
- segera lapor ke TNI AD melalui Koramil atau pun Kodim, biasanya mereka lebih tanggap (di sini, jangan takut terhadap TNI), dan cepat bergerak
- dan jika anda punya cara lebih baik maka monggo ……. (lanjutkan)
Waspada dan kewaspadaan bukan untuk menyiapkan diri menuju peperangan, melainkan memelihara kerukunan sosial dan kerukunan umat beragama. Tanpa itu, maka NKRI akan menjadi rusak. Ada nilai yang sangat tinggi di/dalam/melalui kerukunan; dan sebaliknya, akan ada kehancuran serta chaos jika terjadi ketidakrukunan
Kerukunan [dari ruku, bahasa Arab, artinya tiang atau tiang-tiang yang menopang rumah; penopang yang memberi kedamain dan kesejahteraan kepada penghuninya] secara luas bermakna adanya suasana persaudaraan dan kebersamaan antar semua orang walaupun mereka berbeda secara suku, agama, ras, dan golongan.Kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan; serta kemampuan dan kemauan untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta tenteram.Langkah-langkah untuk mencapai kerukunan seperti itu, memerlukan proses waktu serta dialog, saling terbuka, menerima dan menghargai sesama, serta cinta-kasih.
Tidak tidak bisa dibantah bahwa, pada akhir-akhir ini, ketidakerukunan antar dan antara umat beragama (yang terpicu karena bangkitnya fanatisme keagamaan) menghasilkan berbagai ketidakharmonisan di tengah-tengah hidup dan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Oleh sebab itu, perlu orang-orang yang menunjukan diri sebagai manusia beriman (dan beragama) dengan taat, namun berwawasan terbuka, toleran, rukun dengan mereka yang berbeda agama. Disinilah letak salah satu peran umat beragama dalam rangka hubungan antar umat beragama, yaitu mampu beriman dengan setia dan sungguh-sungguh, sekaligus tidak menunjukkan fanatik agama dan fanatisme keagamaan.
Di balik aspek perkembangan agama-agama, ada hal yang penting pada agama yang tak berubah, yaitu credo atau pengakuan iman. Credomerupakan sesuatu khas, dan mungkin tidak bisa dijelaskan secara logika, karena menyangkut iman atau percaya kepada sesuatu di luar jangkauan kemampuan nalar manusia. Dan seringkali credo tersebut menjadikan umat agama-agama melakukan pembedaan satu sama lain. Dari pembedaan, karena berbagai sebab, bisa berkembang menjadi pemisahan, salah pengertian, beda persepsi, dan lain sebagainya, kemudian berujung pada konflik. Di samping itu, hal-hal lain seperti pembangunan tempat ibadah, ikon-ikon atau lambang keagamaan, cara dan suasana penyembahan atau ibadah, termasuk di dalamnya perayaan keagamaan, seringkali menjadi faktor ketidaknyamanan pada hubungan antar umat beragama.
Jika semua bentuk pembedaan serta ketidaknyamanan itu dipelihara dan dibiarkan oleh masing-masing tokoh dan umat beragama, maka akan merusak hubungan antar manusia, kemudian merasuk ke berbagai aspek hidup dan kehidupan. Misalnya, masyarakat mudah terjerumus ke dalam pertikaian berdasarkan agama [di samping perbedaan suku, ras dan golongan].
Untuk mencegah semuanya itu, salah satu langkah yang penting dan harus terjadi adalah kerukunan umat beragama. Suatu bentuk kegiatan yang harus dilakukan oleh semua pemimpin dan umat beragama.
Di samping itu, harus terjadi kerukunan intern umat beragama. Hubungan tak harmonis intern umat beragama pun bisa merusak atau berdampak masyarakat luas yang berbeda agama. Biasanya perbedaan tafsiran terhadap teks kitab suci dan pemahaman teologis dalam agama-agama memunculkan konflik serta perpecahan pada umat seagama.
Konflik dan perpecahan yang melebar, bisa mengakibatkan rusaknya tatanan hubungan baik antar manusia, bahkan mengganggu hidup dan kehidupan masyarakat luas. Kerukunan dapat dilakukan dengan cara tidak mengganggu ketertiban umum; tidak memaksa seseorang pindah agama; tidak menyinggung perasaan keagamaan atau ajaran agama dan iman orang yang berbeda agama; dan lain-lain
Kerukunan antara umat beragama dan kerukunan intern umat seagamaharus juga seiring dengan kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Pemerintah adalah lembaga yang berfungsi memberlakukan kebaikan TUHAN Allah kepada manusia; pemelihara ketertiban, keamanan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam kenyataan kesehariannya, seringkali terlihat bahwa, pemerintah dengan politik akomodasinya, bukan bertindak sebagai fasilitator kerukunan umat beragama, tetapi membela salah satu agama.
Waspada Terhadap PROTAP Intoleransi di Nusantara
Reviewed by Afrianto Budi
on
Sabtu, Juni 09, 2012
Rating:
Tidak ada komentar:
Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini