banner image

Saya Tahlilan, karena itu Saya bukan Wahabi

Sejenak jika kita cermati, hari-hari ini ada semacam perubahan radikal yang nampaknya bakal menjadi budaya untuk mengelabuhi opini masyarakat awam. Para koruptor yang tertangkap basah dan saat duduk di kursi pesakitan kalau dia laki-laki dan beragama Islam, tiba-tiba dia akan mengenakan busana kiai lengkap dengan atribut-atribut yang menunjukkan kesalehan, yaitu peci. Kalau koruptor itu wanita dan beragama Islam, biasanya dia meggenakan busana muslimah dan berjilbab rapih. Wajah mereka juga menunjukkan ekspresi “ngeles” dan “melas” yang bisa menguras iba bagi siapa saja yang melihatnya. Tipu-tipu muslihat dengan ‘eksploitasi simbol-simbol agama’ sambil berharap mengobok-obok emosional pelaku umat beragama dan opini publik.
Lalu apa hubugan antara Wahabi dan Korupsi? Ada kesamaan antara keduanya. Minimalnya, kata Wahabi adalah sifat yang paling dibenci oleh masyarakat sekaligus pelakunya sendiri. Kedua, sifat itu lebih sering melekat pada individu dan personal dan bukan secara organisasi walaupun tak bisa dipungkiri ada juga yang secara organisasi. Ketiga, Wahabi adalah semacam monster, siapun akan menghindar dari sifat itu. Keempat, untuk menghindari sifat itu, pelaku akan mengubah watak bengis menjadi imut-imut dan romantis, toleran dan pluralis.
Dalam sebuah tulisan, Pak Joko Wenampati menulis, “Betapa sulitnya kata beliau mengidentifikasi siapa “wahabi” itu. Dalam paragraf awal beliau menulis, “Sekarang pada ramai bercerita tentang wahabi, persoalan lama yang tidak pernah jelas siapa pihak yang dituding wahabi. Banyak yang dituding sebagai berpaham wahabi, tapi pihak-pihak yang ditudingpun menuding wahabi. Tak ayal, komunitas muslim awam, yang tidak memperhatikan pergerakan islam di Indonesia semuanya kebingungan mengidentifikasi pihak mana yang sebenarnya di tuding Wahabi. Kenapa demikian bisa terjadi, adalah sebuah persoalan yang penting untuk dicari jawabannya segera.”
Memang sulit, karena yang disasar dalam tulisan Pak Joko yang katanya hasil investigasi dan wawancara dengan beberapa kolegonya dari tran lintas aliran dan Mazhab termasuk “HTI, PKS (a.k.a sayap politk Al Ikhwanul Muslimin Indonesia), Salafiyah, Muhammadiyah, NU, Syiah, Jamaah tablig, Islam Jamaah dan lain-lain,” adalah organisasi dan bukan individu-individu.
Apakah salah? Tidak selalu salah, namun keliru karena pak Joko lebih menyoroti pada organisasi dan Mazhab secara universal bukan pada individu-individu dan personaliti. Seperti yang kesamaan diatas. wahabi adalah sifat momok menakutkan, semacam korupsi yang siapa saja akan menghindarinya dan semua orang akan lari darinya walaupun dia adalah pelaku.
Tentu pak Joko akan kesulitan mengindentifikasi “wahabi”, karena pelaku-pelaku tersebut akan mengubah gaya hidup formalitasnya. Persis korupsi yang dulunya anti peci dan baju koko, namun ketika datang hukum, mereka mengubah tampilan modis keseharian dengan kesalehan sosial.
Tapi, saya bisa mencoba membantu pak Joko mengidentifikasi wahabi ini dengan memberikan beberapa ciri. Ciri-ciri tersebut secara kasar bisa dilacak sebagai berikut:
1. Agresif menyebar teror dengan membawa bendera pembenaran agama atau mazhab demi mencapai tujuan yang diyakini sebagai sebuah “kepatuhan” utuh dan “ketundukan” mutlak kepada Tuhan;
2. Agresif mendangkalkan makna jihad, amar makruf dan menyebar aksi teror atas nama perang suci terhadap agama-agama dan mazhab lain;
3. Agresif  menyebar virus TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat) pada kelompok agama tertentu melalui provokasi selebaran atau dari mulut ke mulut yang bertujuan mendiskreditkan kelompok agama dan mazhab tertentu berdasarkan pemahaman sepihak dengan dalil dan teks tertentu yang kaku;
4. Agresif memaksakan satu kehendak, “satu Islam” kepada semua penganut ajaran agama yang terpencar dalam berbagai mazhab dan ideologi;
5. Agresif menyalahi watak toleransi Islam dengan klaim membawa kebenaran “hakiki” dari langit;
6. Agresif mengklaim sebagai kaum paling Muwahhidun dam kaum pengesa Tuhan;
7. Agresif menolak segala bentuk toleransi dengan kekerasan terhadap kelompok, terutama minoritas. Meliputi berbagai bentuk kekerasan antar individu, antar kelas dan antar bangsa;
8. Agresif menolak semua bentuk kekayaan intelektual dengan kekerasan dan teror dengan klaim TBC;
9. Agresif menggunakan argument, retorika dan analisis, seperti konspirasi, pembunuhan karakter dan pengkaburan fakta melalui retorika, mencari celah-celah hukum pembenaran bagi penteror, rekayasa dan pembentukan opini tandingan dengan sarana media dan sebagainya;
10. Agresif bervariasi dalam berhujjah, kadang fisiologis, kadang psikologis dan kadang –bahkan sering- ideologis dan teologis yang dangkal.
Jelas, ciri-ciri diatas adalah hasil penerawangan kasar, namun bisa diuji kelayakannya di lapangan.
Terakhir, kalau pak Ali Mukti bilang “Saya Nahdiyin karena Itu Saya Tahlilan“, maka ijinkan saya menambahin, saya mauludan, ziarah kubur, minta didoakan ulama dan tetap menegakkan Tauhid dengan senyuman. Karena itu saya bukan Wahabi. []

Saya Tahlilan, karena itu Saya bukan Wahabi Saya Tahlilan, karena itu Saya bukan Wahabi Reviewed by Afrianto Budi on Sabtu, Juni 09, 2012 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini

Diberdayakan oleh Blogger.