JOGJA, AKBARPITOPANG —
Kemaren petang (7/6/12) saya dan empat orang teman main ke malioboro
dan nol kilometer. Kebetulan minggu ini adalah minggu tenang jadi bisa
refreshing sebelum kamis depan harus mengikuti ujian akhir semester.
Refreshing yang berujung pada penipuan. Bagaimana kronologisnya?
Pukul 14.42 WIB tiba-tiba hapeku bordering pertanda ada sms masuk.
“Ambo, arep teko dolanan ning nol kilometer ora?” Sebuah pesan singgat yang dikirimkan oleh imam.
“Iyo Mam… aku ikut.. Bareng sopo wae? Jam piro?” Jawabku.
“Saiki koe arep mangkat neng kos ku dulu.. Bawa helm..”
“Iyo… otw ki…” balasku lagi sambil bersiap-siap untuk berangkat ke kosnya Imam.
Saya pun langsung
mematikan laptop kemudian bersiap-siap menuju ke kosnya. Karena
kebetulan saya tak punya motor maka dari kosan hanya bisa nenteng helm
doang… he he he..
Saya jalan kaki ke
kosnya Imam. Lama perjalanan dengan jalan kaki dari kosku ke kosnya Imam
bisa memakan waktu 10 menit dalam tempo lambat. Ketika hampir tiba di
kosnya Imam, azan Ashar berkumandang. Di kosnya Imam sudah ada teman
lain yakni Risky dan Andri. Kami pun shalat dulu sambil menunggu Anik
datang.
Selesai shalat Ashar,
Anik pun ternyata sudah tiba di depan kosnya Imam. Karena kami tak ingin
membuang waktu maka kami langsung bersiap diri dan meluncur ke tujuan, Malioboro dan Nol Kilometer.
Menempuh perjalanan
dari kosnya Imam menuju Nol Kilometer tak terasa jauh dan terasa hanya
sebentar. Dan kamipun tiba di lokasi tujuan. Karena jalanan di Malioboro
dan Nol Kilometer sangat padat pada sore hari maka kami putuskan lebih
baik ke Nol Kilometer saja. Dimana tepatnya Nol Kilometer kalau di
Jogja? Yakni dekat lokasi Monumen 1 Maret, Istana Agung, Bank BNI, Bank
Indoesia dan Kantor POS Indonesia. Semuanya pasti tahu kalau pernah main
ke Malioboro…
Sebenarnya tak ada
niat apa-apa kesana sore itu selain hanya refreshing dan main-main saja.
Karna memang sudah lama tak main kesana. Kami disana juga tidak
melakukan apa-apa selain hanya melihat-lihat dagangan yang dijajakan di
trotoar sepanjang jalan Malioboro hingga Nol Kilometer dan yang pasti
tak lupa berfoto-foto ria disana. Maklumlah anak muda zaman sekarang…
Kami mencari banyak
spot yang bagus untuk berfoto. Jepretan demi jepretan diambil dengan
kamera hape Risky yang hasilnya cukup baik. Dan kami pun berhasil
mendapatkan beberapa foto yang bagus disana.
Lalu setelah
mengabadikan beberapa gambar disana, Imam dan Risky duduk di
bangku-bangku taman yang ada disana. Anik pun juga duduk karena melihat
Imam dan Risky duduk disana. Akhirnya saya dan Andri juga terpaksa
melakukan hal yang sama.
Di bangku tempat kami duduk ternyata sudah ada dua orang dewasa yang mungkin kami kira itu sepasang suami istri. Istrinya mungkin sudah berkepala empat sedangkan sang suami berusia sekitar 50-an.
Awalnya mereka biasa-biasa saja. Namun ketika kami mulai bersantai di bangku itu kemudian tiba-tiba mereka berlagak seperti sedang kesusahan. Ibu itu mengajak Imam dan Risky mengobrol. Ada beberapa saat lamanya teman saya mendengarkan ‘kisah’ sepasang suami istri itu.
Singkat cerita, intinya mereka dari Kulon Progo namun bingung tak bisa pulang. Alasannya uangnya kurang. Kok bisa ya?
Saya sudah mengira
kalau ibu itu akan menipu kami. Karena saya sudah pernah tertipu seperti
itu. Dulu ketika masih awal-awal kuliah di Jogja, ketika santai di Nol
Kilometer juga ada seorang bapak yang mendekati saya. Karena dulunya
saya masih lugu dan belum paham maka saya dengan sangat antusias
mendengarkan ‘kisah’ bapak itu. Inti kisahnya juga sama, yakni tak ada
uang untuk pulang. Katanya bapak itu mau ambil uang di bank tapi karena
bank sudah tutup akhirnya ia tak bisa mengambil uangnya dan tak bisa
pulang kerumah. Bapak itu minta tolong, dan saya pun memberikan beberapa
rupiah. Sebelum pergi, bapak itu memberikan saya nomor yang bisa
dihubungi dan alamat anaknya yang kuliah di jogja. Saya terima saja.
Tapi tak pernah saya tagih. Malas…
Bisa dikatakan pengalaman saya kali itu terulang untuk kedua kalinya.
Sebenarnya saya tidak meladeni ibu itu bicara. Saya hanya membiarkan
Imam, Risky dan Anik mendengarkan kisah ibu itu. Sedangkan saya dan
Andri melakukan hal lain. Karena kami kurang yakin dengan kisah yang si
ibu sampaikan itu.
Saya hanya bisa
membiarkan Imam dan dua orang teman yang lain itu mendengarkan kisah
‘dramatis’ ibu itu. Menurut saya teman saya bertiga itu belum tahu dan
belum pernah mengalami penipuan disana. Saya yakin awalnya seperti itu.
Saya mengamati tiga orang teman saya itu cukup antusias mendengarkannya.
Bisa dikatakan posisi saya disana seperti memakan buah simalakama.
Dilema antara menyampaikan bahwa ibu itu akan menipu atau tetap
membiarkan saja mereka mau ditipu ibu itu. Memang keadaan waktu itu
benar-benar rumit. Jika saya menyampaikan perihal maksud ibu itu kepada
teman mereka bertiga, dikhawatirkan ibu itu mendengar apa yang akan saya
sampaikan. Tak enak juga rasanya. Disamping itu jika saya coba
sampaikan, saya yakin mereka tidak akan percaya apa yang akan saya
katakan dan saya yakin mereka pasti butuh alasan panjang lebar untuk
menguatkan apa yang akan saya katakana itu. Tak mungkin sepertinya.
Akhirnya saya pun mengalah. Saya terpaksa harus membiarkan mereka
sekaligus saya tertipu.
Maksudnya ‘saya’? Iya…
pada akhirnya kan saya juga ikut tertipu. Pada akhirnya sampai juga
pada inti cerita yang sangat dinanti-nanti sepasanga suami istri penipu
itu.
Tiba-tiba Imam memanggilku, “Bar, kesini dulu..”
“Ada perlu apa Mam?” Jawabku ketika menghampiri Imam.
“Aku pinjam duitmu dulu ya ….. (tak enak menyebutkan nominalnya)?”
“Oh iya oke..” Aku pun mengeluarkan uang dari dompetku kemudian menyodorkannya pada imam.
Ditangan Imam sudah
ada beberapa uang pecahan iuran Imam, Risky, Anik dan terakhir saya.
Sedangkan Andri tidak dimintai Imam karena ia sudah paham karakter Andri
yang memang tak mau sangkut paut masalah seperti itu.
Kemudian Imam pun
memberikan uang tersebut kepada ibu itu. Ibu itu menerimanya. Kemudian
‘sok’ memberikan alamat dan akan mencatatkan nomor kontak ibu itu yang
akan dihubungi. Namun Imam menolaknya. Lebih dari dua kali ibu itu ‘sok’
memberikan nomornya pada kami. Namun Imam tetap menolaknya.
Lalu setelah ibu itu
menerima uang dari kami. Ibu itu dan suaminya bangkit bermaksud segera
meninggalkan kami. Namun sebelum mereka pergi, ibu itu berterima kasih
dan menyalami kami semua terlebih dahulu. Sekaligus mendoakan kami
kebaikan. Bagus ya… akhirnya sepasang suami istri itu pun pergi
meninggalkan kami. Tak tahu akan kemana. Benar akan pulang ke Kulon
Progo atau mungkinkah mencari mangsa yang lainnya? Hanya tuhan yang tahu.
Hmmm… kemudian
beberapa saat setelah sepasang suami istri pergi, kami pun memutuskan
untuk balik ke kosan masing-masing. Karena hari yang sudah semakin
petang dan adzan maghrib tak lama akanberkumandang.
————————————–
Kami berkumpul sejenak di kosannya Imam. Kosan Imam memang bisa disebut bace camp-nya angkatan kami. Ternyata adzan maghrid telah menggema, kami pun shalat.
Selepas shalat, saya
mengajak Imam bicara sekedar iseng-iseng belaka untuk menanyakan
beberapa hal terkait kejadian di Nol Kilometer tadi.
“Mam, kamu percaya gak cerita ibu tadi?”
“Saya tak peduli kebenarannya…”
“Kalau kita benar-benar ditipu gimana?”
“Kok sampai bisa begitu?”
“Soalnya dulu aku juga
pernah mengalaminya Mam. Pas awal-awal di Jogja. Ceritanya memang
hampir mirip, gak bisa pulang…” saya mencoba menerangkan pengalamanku
dulu pada Imam.
“Beneran ya? Hmm.. Bagiku tak masalah mereka menipu kita atau tidak. Biarkan tuhan yang membalasinya..”
“Iya… bagiku juga tak masalah. Namun lain kali kita lebih waspada aja mam.. Kita
doakan saja mereka diberi petunjuk dan kebaikan oleh tuhan. Semoga
dengan uang yang kita berikan tadi itu bisa membuka hati mereka akan
kebaikan dan kejujuran..”
“Iya.. Sepakat… kalo gitu duitmu yang tadi aku pinjam gak usah diganti ya.. :D buat mereka aja..”
“Iya.. Iya.. Santai aja…”
—————————————-
Percakapan kami akhiri sampai disana. Kemudian kami melanjutkan kegiatan masing-masing dan pamitan untuk pulang ke kosan.
Dari kisah panjang lebar yang sudah disampaikan diatas sebelumnya mari sama-sama coba kita kaji terlebih dahulu…
Benarkah sepasang
suami istri itu melakukan aksi penipuan? Saya bingung harus menjawabnya
seperti apa. Mungkin saja memang benar-benar menipu bisa saja memang
benar-benar sedang kesusahan. Dikatakan menipu karena saya memang sudah
pernah mengalami aksi seperti itu sebelumnya. Dalu ketika saya
menceritakan pengalaman saya itu pada salah seorang teman yang lain, ia
seperti membenarkan bahwa saya memang tertipu. Karena kata teman saya
itu, ia juga mempunyai teman yang juga mengalami pengalaman seperti saya
disana. Berarti dengan demikian bisa disimpulkan bahwa kami memang
‘tertipu’.
Namun jika memang yang terjadi malah sebaliknya, bahwa ibu itu sedang kesusahan maka kami sangat senang telah memberi bantuan.
Sebenarnya saya tak
enak menceritakan pengalaman ini pada teman-teman semua. Namun mungkin
ada baiknya juga jika teman-teman mendengarkan kisah kami ini. Semoga
anda bisa mengambil pelajaran dengan selalu bersikap waspada saat di tempat yang ramai dikunjungi seperti Malioboro atau Nol Kilometer atau sekitaran Jogja yang ramai dikunjungi wisatawan.
Jika anda sedang
berbaik hati, berikan saja uang secukupnya yang anda miliki. Atau jika
anda memang punya banyak uang terserah saja mau memberikan bantuan
seperti apa. Tak usah bingung untuk berbuat baik dan membantu sesama.
Semoga saja kebaikan yang akan anda berikan itu tidak disalah gunakan oleh mereka yang tak bertanggung jawab atau berbuat buruk.
Mungkin hanya itu yang
bisa saya bagi pada teman-teman semua kali ini. Sekali lagi saya
mengingatkan teman-teman semua untuk selalu waspada dan berhati-hati. Karena aksi kejahatan bisa saja terjadi kapan saja dan dimana saja jika ada kesempatan. (BAR)
Sumber Kompasiana.Com
Waspadai Penipuan di Malioboro dan Nol Kilometer
Reviewed by Afrianto Budi
on
Jumat, Juni 08, 2012
Rating:
Tidak ada komentar:
Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini