Bergembira bersama Keluarga Pak JAIM-man.
Motorku kutinggal di rumah frater Bram. Aku naik bis bersama dengan teman-teman yang lain. Supirnya sangat gendut. Sampai-sampai, pak sopir itu tidak hanya menyopir dengan dua tangannya, tapi juga dengan perutnya. Berbeda dengan sopir, kondekturnya kurus, tapi ramah. Intinya, kami merasa aman bersama dengan mereka. Di bis, aku duduk dengan frater Dodik. FKMKKP angkatan tua menyebutnya Pangeran Wonosobo. Kami asyik ngobrol tentang tesis. Yang lain tampak diam, mungkin karena kekenyangan.
Dengan dua kali bertanya pada orang di jalan dan SMS romo Atri, kami sampai di rumah Pak Jaiman dengan selamat. Pak Jaiman dan Bu Jaiman beserta keluarga menyambut dengan gembira. Rumahnya sudah di-desain sedemikian rupa, layaknya orang mau mengadakan resepsi pernikahan. Bedanya, tidak ada janur kuning, tidak ada kursi pengantin, dan tidak ada buku tamu. Ini lebih besar dari sekedar pernikahan. Nikah cukup persiapan 1 tahun. Tapi untuk membuat upacara ini, butuh waktu 9 tahun. Nggak kebayang deh, rasa syukurnya kayak apa. Tapi yang jelas, aku senang bisa ikut ambil bagian dalam ungkapan syukur keluarga pak Jaiman dan keluarga.
Malam itu kami habiskan untuk saling bercanda tawa. Ada beberapa yang bermain gitar dan bernyanyi-nyanyi. Aku bersama dengan para frater bermain remi sampai pagi... Kebersamaan bersama teman-teman menjadi sarapan penutup malam itu. Itu lebih enak dari makanan apapun di dunia ini: kebersamaan, persaudaraan, cinta.
Hari istimewa
Pagi-pagi benar, rumah sudah ramai dengan suara gitar. Keluar dari tempat tidur, semua frater sudah mengalungkan handuk. Antri mandi. Aku bersama dengan beberapa frater ikut antri di kamar mandi sebuah mesjid, tidak jauh dari tempat bis diparkir. Ada dua kamar mandi di situ. Sayangnya, tidak ada lampu. Pintunya pun tidak bisa ditutup rapat, apalagi dikunci. Aku menimba dua ember air dari sumur di masjid itu untuk mandi. Selesai mandi, aku baru sadar kalau aku tidak membawa handuk. Maka, setelah kuperes rambutku dan kugeleng-gelengkan kepalaku, aku memakai celanaku untuk membersihkan badanku. Wah, itu adalah awal dari hari yang istimewa.
Setelah ganti pakaian, sisiran, dan berubah menjadi tampan, aku bergabung dengan teman-teman, menikmati teh hangat, main kartu, sambil menunggu sarapan. Aku baru tahu kalau para mahasiswi ternyata lebih malas daripada cowok-cowok. Beberapa cewek, tanpa merasa berdosa, ikut sarapan bersama para cowok yang sudah mandi dan rapi. Ji-bang lah, haha...
Sekitar jam 08.30 pagi, kami bersiap untuk pemanasan. Saat pemanasan, beberapa teman FKMKKP yang lain datang. Mereka adalah: Damar, Andre, Ragil, Lusi, Riska, Deni, dan Patrice. Ndak kebayang, waktu kami sedang makan-makan di rumah frater Theo dan frater Bram, mereka sedang bertugas parkir di Paroki Banteng untuk mendapatkan beberapa rupiah demi acara Sambut Sahabat FKMKKP 19 November yang akan datang. Selesai parkir, jam 19.00 mereka meluncur langsung menuju rumah Lusi di Purbalingga untuk bergabung bersama kami di misa perdana Romo Tri Kusuma. Walau sepertinya lelah, tapi muka mereka menyinarkan kebahagiaan juga (ciee,,, ketone lho...) Salut deh buat mereka.
Misa dimulai jam 10.00. Kor menyanyi dengan penuh semangat. Terlihat belasan romo dan ratusan umat berkumpul dan bersyukur bersama Romo Tri Kusuma dan keluarga Pak Jaiman. Misa diisi dengan homili, atau lebih tepatnya sih disebut curhat. Banyak hal yang kami dengar dari Romo Tri Kusuma dan keluarga Pak Jaiman. Misa berlangsung lebih dari dua jam. Lebih lama dari misa natal di parokiku, haha... Tapi yang jelas, nuansa syukur menjadi inti perayaan siang hari itu.
Perayaan itu ditutup dengan makan-makan. Banyak kenalan lama yang kujumpai hari itu; para romo, beberapa umat, dan juga para ex-seminari. Dalam sekejap, mereka kembali ke asal mereka masing-masing. Kursi-kursi ditumpuk tanda acara sudah benar-benar berakhir. Sekejap pula kor yang sudah dipersiapkan dengan latihan belasan kali, selesai.
Sejenak aku berpikir... Begitu cepat segala sesuatu yang dipersiapkan dan dialami, berlalu begitu saja... Perayaan yang dipersiapkan begitu lama hanya selesai dalam hitungan menit. Dalam sekejap, "saat ini" menjadi "masa lalu". Apa yang tersisa? Yang tersisa adalah perasaan. Pengalaman yang direfleksikan melekat dalam perasaan lalu menjadikan seseorang menjadi lebih hidup. Dan aku tahu sekarang, proses menjalani segala sesuatu itu lebih berharga daripada tujuan akhir itu sendiri.
Banjarnegara dan Purbalingga - Part 2
Reviewed by Afrianto Budi
on
Senin, Oktober 31, 2011
Rating:
Tidak ada komentar:
Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini