Empu Lisi bukanlah nama orang yang menciptakan keris,
pedang, atau semacamnya. Empu Lisi adalah birokrasi yang ditugaskan
oleh pemerintah untuk mengatur supaya kerajaan dapat memberikan keadilan
bagi rakyatnya. Ia punya senjata yang tak sembarang orang boleh punya.
Tapi sayang, senjata itu tak pula membuat Mpu Lisi percaya diri untuk
melaksanakan tugasnya. Apalagi, akhir-akhir ini banyak situasi yang
menimbulkan dilema bagi Mpu Lisi. Kasihan memang.
Jadi ceritanya ada semacam Ronggeng yang diundang oleh sebuah keluarga untuk merayakan khitan anak laki-lakinya. Dari berbagai kerajaan, sudah tersiar kabar bahwa Ronggeng itu tidak beres. Pakaiannya seksi. Goyangannya dahsyat. Musik untuknya berjoget pun bukan musik biasa. Beberapa tetua agama bahkan mengatakan bahwa musiknya musik iblis. Sesat. Mereka mengancam, kalau Ronggeng itu jadi diundang, para tetua akan menebar petaka. Jangankan si Ronggeng, penontonnya pun bakalan kena akibatnya.
Tapi nyatanya, Ronggeng hanyalah Ronggeng. Ronggeng lokalpun tak kalah heboh dengan Ronggeng kerajaan sebelah. Pakaiannya pisa saja lebih seksi. Goyangannya bahkan bisa pendorong para tetua untuk berpoligami.
Empu Lisi ditekan dan diancam oleh para tetua. Namun Empu Lisi juga didesak oleh banyak orang agar bersikap arif bijaksana. Soal masa, kelompok pendukung ronggeng lebih banyak. Kelompok para tetua hanya segerombolan saja. Tempo sudah mensurveynya. Tapi soal, ancaman, kelompok tetua rajanya. Empu Lisi galau dan merana. Mengapa si tua begitu kolot menerjemahkan agama dan menganggap kalau di hutan hanya ada serigala.
Ah dasar tetua, banyak bicara soal agama , tapi lupa kalau ujung burung anak itu butuh segera dipotong sebelum berbulu agar genaplah syarat yang diajukan tetua kepada para perjaka untuk menjadi anggotanya.
Jadi ceritanya ada semacam Ronggeng yang diundang oleh sebuah keluarga untuk merayakan khitan anak laki-lakinya. Dari berbagai kerajaan, sudah tersiar kabar bahwa Ronggeng itu tidak beres. Pakaiannya seksi. Goyangannya dahsyat. Musik untuknya berjoget pun bukan musik biasa. Beberapa tetua agama bahkan mengatakan bahwa musiknya musik iblis. Sesat. Mereka mengancam, kalau Ronggeng itu jadi diundang, para tetua akan menebar petaka. Jangankan si Ronggeng, penontonnya pun bakalan kena akibatnya.
Tapi nyatanya, Ronggeng hanyalah Ronggeng. Ronggeng lokalpun tak kalah heboh dengan Ronggeng kerajaan sebelah. Pakaiannya pisa saja lebih seksi. Goyangannya bahkan bisa pendorong para tetua untuk berpoligami.
Empu Lisi ditekan dan diancam oleh para tetua. Namun Empu Lisi juga didesak oleh banyak orang agar bersikap arif bijaksana. Soal masa, kelompok pendukung ronggeng lebih banyak. Kelompok para tetua hanya segerombolan saja. Tempo sudah mensurveynya. Tapi soal, ancaman, kelompok tetua rajanya. Empu Lisi galau dan merana. Mengapa si tua begitu kolot menerjemahkan agama dan menganggap kalau di hutan hanya ada serigala.
Ah dasar tetua, banyak bicara soal agama , tapi lupa kalau ujung burung anak itu butuh segera dipotong sebelum berbulu agar genaplah syarat yang diajukan tetua kepada para perjaka untuk menjadi anggotanya.
Empu Lisi ( = Polisi)
Reviewed by Afrianto Budi
on
Senin, Mei 28, 2012
Rating:
Tidak ada komentar:
Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini