Dengan mengenakan jarik dan kemben, wanita berusia senja itu memunguti melinjo yang jatuh di kebun depan rumah kontrakanku setiap pagi. Jariknya yang sudah usang digunakannya untuk meletakkan melijo-melinjo itu. Beberapa kali aku sengaja menyapa beliau dan menawarkan tas kresek untuk meletakkan melinjo-melinjonya. Dengan senyumannya yang sangat cantik ia menerima kresek itu dengan senang, lalu dengan bahagia ia bercerita tentang suami dan anaknya, cerita yang sama yang selalu kudengar setiap kali kusapa.
Namanya Mbah Maria Lasikem Kasmorejo. “Lup”, begitulah ia memanggilku.
Lup adalah panggilan umum khas Jogja untuk anak laki-laki. Mah Lasikem
punya 11 anak. Sawahnya dulu luas, tapi sekarang sudah habis dibagi
untuk warisan ke-11 anaknya. Kini anaknya sudah “mentas”, sudah mapan
dan punya kehidupan masing-masing. Suaminya sudah 20 tahun yang lalu
meninggal. Terlalu lama ditinggal mati suami tercinta membuatnya
terbiasa untuk hidup sendiri. Usianya yang beranjak 91 tahun telah
mengubah bentuk fisik dan wajahnya. Kulit wajahnya sudah keriput.
Rambutnya sudah menipis. Jalannya sudah tidak tegak lagi.
Ketika kutanya kenapa ia memungut melinjo setiap hari, Mbah Lasikem menjawab “Namung kula klumpukke, eman-eman menawi mboten dipundhut”
(Hanya saya kumpulkan, sayang kalau tidak dipungut)”. Mbah Lasikem
bukan orang miskin. Anak-anaknya bisa dibilang sukses dan mapan. Ada
yang menjadi karyawan, ada yang menjadi tentara, ada pula yang bekerja
di Papua untuk menjadi guru di sana. Mbah Lasikem akrab dengan melinjo
sejak ia masih muda. Dulu ia adalah pengusaha emping. Melinjo ia petik
dan ia tumbuk sendiri bersama suaminya. Tapi, sudah lama ia tidak
membuatnya lagi. Tidak hanya karena suaminya sudah meninggal, tetapi
sudah tidak kuat menumbuk melinjo katanya.
Memungut melinjo bukanlah pekerjaan baginya. Melinjo hanya
mengingatkannya pada Gusti Allah yang telah mempertemukan ia dengan
suami dan anak-anaknya. Melinjo adalah tanda kesetiaan Gusti Allah yang
telah mendampingi keluarganya walau dengan cara-cara yang sederhana.
Senin Wage, 26 Maret 2012 adalah saat pertama dan terakhir di mana aku
bisa memandang wajahnya dari dekat. Matanya terpejam. Bibirnya menyimpan
senyuman dan kepuasan. “Sungguh cantik”, batinku dalam hati. Aku bisa
membayangkan betapa cantiknya wanita itu saat Mbah Lasikem masih muda.
Aku bersyukur boleh melihat pesonanya saat usia senja hingga akhirnya
Gusti Allah memanggilnya untuk membuatkan-Nya melinjo di Surga bersama
suaminya.
Aku percaya, tak ada wanita di dunia ini yang lebih cantik dan mempesona
selain ketika ia sudah senja, ketika ia sudah melunasi segala tugasnya
sebagai wanita hingga akhirnya ia pantas duduk bersama Sang Dewi di
surga untuk menjadi pendoa bagi anak cucunya.
Maturnuwun, Mbah Lup. Nyuwun pangestunipun, mohon berkat.
(Didedikasikan untuk Alm. Mbah “Lup” Maria Lasikem Kasmorejo)
Pesona Wanita Saat Usia Senja
Reviewed by Afrianto Budi
on
Senin, Mei 28, 2012
Rating:
Tidak ada komentar:
Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini