Kewajiban setiap produk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, dan rekayasa genetik, memiliki sertifikat halal, seperti yang tercantum dalam RUU Jaminan Produk Halal (RUU Halal) yang hingga kini masih dibahas pemerintah melanggar Undang-Undang Dasar 1945. UU itu bertentangan dengan asas kebangsaan, kenusantaraan, Bhinneka Tunggal Ika, keadilan dan kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, seperti yang diatur dalam Pasal 6 UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-undang-undangan. Pada pembukaan UUD 1945, jelas tertera bahwa pemerintah menjamin dan melindungi segenap masyarakat dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pancasila juga jelas-jelas menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lantas, Undang-Undang Halal itu untuk melindungi siapa?
Indonesia yang berpenduduk 592 juta jiwa pada tahun
2011 memiliki 17.508 pulau, 33 provinsi, dan 300 kelompok etnik dan
berbagai agama. Dari Sabang sampai Merauke, tiap etnik mempunyai
kekayaan dengan beragam budaya, seni, ritual tradisi, adat, cara
berpakaian dan berbagai jenis produk minuman dan makanan kuliner yang
berkembang selama berabad-abad. Semua itu menunjukkan kemajemukan bangsa
Indonesia. RUU Halal akan mengotak-ngotakkan masyarakat, bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945.
RUU Halal ini tidak dibutuhkan dan harus segera
dihentikan pembahasannya untuk mencegah terjadinya konflik baru lintas
etnik dan agama. Bisa dibayangkan kalau RUU Halal tersebut disahkan maka
banyak orang yang akan dirugikan, terutama mereka yang tidak
berkepentingan sama sekali dengan halal atau haramnya suatu makanan.
Apakah tidak ada masalah yang lebih urgen sehingga halal dan harampun
harus diundangkan? Jaminan payung hukum untuk melindungi konsumen sudah
diatur dalam UU Perlindungan Konsumen dan UU Pangan.
Sangat Bermotif Ekonomi
RUU Halal yang tidak transparan juga sangat
bermotif ekonomi. Bisa dibayangkan berapa keuntungan MUI yang diperoleh
setiap harinya bila jutaan perusahaan dan milyaran produk harus
mendaftarkan sertifikasi halal kepada MUI. Bisa jadi, penghasilan MUI
akan lebih tinggi daripada penghasilan negara dari Pajak Pertambahan
Nilai atau PPN. Hingga sekarangpun, siapa yang tahu ke mana uang
sertifikasi halal itu mengalir? Hanya MUI yang bisa menjawabnya. Kalau
benar bahwa MUI memakan sendiri hasil sertifikasi itu, maka semua
makanan berlabel Halal telah haram karena tercemar oleh keserakahan MUI.
Adanya RUU Halal sebenarnya mengancam posisi MUI
dalam kaitannya sebagai otoritas pemberi label halal. RUU Halal ini
sebenarnya mulai dibahas oleh para anggota dewan angkatan 2004/2009. Ada
tarik menarik kepentingan antara pemerintah dengan MUI. Majelis Ulama
Indonesia ingin agar pemberi sertifikat itu tetap ada di tangannya
sementara pemerintah ingin kewenangan penuh sebagai pemberi sertifikat
halal, meskipun tetap akan melibatkan MUI sebagai dewan fatwa (www.kbr68h.com). Jelas pemerintah mempunyai kewenangan penuh, apalagi berkaitan dengan keuangan di Indonesia.
Mempertanyakan jaminan fairness bagi seluruh bangsa Indonesia
Kembali kepada permasalahan utama, RUU Halal
melanggar UUD 1945 dan Pancasila dalam memberikan keadilan sosial bagi
seluruh bangsa Indonesia. Keadilan itulah yang kini dipertanyakan.
Apakah negara selama ini sudah adil? Tentu jawabannya adalah sangat
belum adil. John Borden Rawls (1921-2002) merumuskan bahwa sebuah teori
keadilan yang lebih memberikan tempat pada kepentingan semua pihak yang
terjangkau kebijakan publik tertentu. Jaminan fairness yang begitu penting itu ternyata tak dipenuhi dalam pembahasan RUU Halal.
Pemerintah telah lama merambah ranah privat agama
yang seharusnya tidak perlu diatur oleh negara. Dengan RUU Halal ini,
lagi-lagi negara telah ikut campur tangan terhadap urusan intern agama
dalam hal ini urusan halal-haram dan telah melampaui batas kewenangan
negara. Kalau suatu saat nanti RUU Halal ini disahkan, maka satu lagi
kasus pelanggaran berat Hak Asasi Manusia terjadi di Indonesia: hak
setiap warga negara untuk makan. Ingat, selama ada lima agama dan selama
berlambang Garuda Pancasila, Indonesia bukan negara agama.
RUU Halal Langgar UUD 1954 dan Pancasila
Reviewed by Afrianto Budi
on
Senin, Mei 28, 2012
Rating:
Tidak ada komentar:
Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini