10:49
Dibaca: 79 Komentar: 4 Nihil
Dua minggu kemarin adik saya yang SMA baru menikmati sukacita sekaligus kesedihan. Sukacitanya karena dia lulus SMA. Sedihnya karena nilainya jelek. “Soalnya sulit banget, mas Aan. Jadi wajar kalau nilaiku jelek.” Keluhnya sambil membandingkan bahwa teman-temannya juga mengalami nasib yang sama. Bahkan, katanya, yang rangking satu pun nilainya nggak jauh beda sama yang rengking terakhir. Masa sih?, pikirku. Aku tertawa geli. Aku teringat masa lalu ketika aku SMA aku menggunakan banyak alasan untuk membela diri. Aku sudah pernah melaluinya.
Sabtu kemarin aku juga sms sepupuku yang baru mendapatkan hasil kelulusan SMP nya. Keluhannya pun hampir sama. Dia cerita kalau dia takut banget nggak ketrima di sekolah favoritnya. Dengan nilai segitu, mau daftar di mana? Lagi-lagi aku senyum-senyum sendiri, karena aku sudah lama melaluinya.
Lain lagi. Membaca kompasiana kolom humaniora >> filsafat, edukasi, sosbud, sejarah, bahasa, dan politik, ada banyak pedebatan tentang eksistensi agama, moral, dan sejenisnya. Perdebatan antara liberal vs moderat-fundamental-radikal-konservatif-dogmatis memanas, baik dalam tekstual maupun dalam kontekstual. Ibarat gunung Merapi, terus saja pembicaraan ini menyebabkan erupsi. Letupan kecil-kecil terdengar di telingaku.
Umpatan-umpatan terhadap pro-moderat atau pro-liberal atau pro-kontekstual bahkan pro-toleransi juga sering kubaca. Bahasa makiannya mungkin tak layak dikeluarkan oleh seorang kompasianers yang mengaku fundamental-radikal-konservatif-dogmatis, tapi toh itu nyata. Syukur bahwa “perang literatur” di kompasiana masih dalam tataran yang cukup sehat — dalam kacamata saya. Mungkin karena yang berperang bukanlah “tentara yang sebenarnya”. Tapi toh tetap masih sehat.
Itu adalah proses evolusi yang harus terjadi. Bahkan dulu Gereja tidak hanya berevolusi, tapi berrevolusi. Betapa beratnya kala itu meninggalkan kemapanan ketika Gereja dan politik kawin menjadi satu. Betapa beratnya pada waktu itu, ketika terjadi perpecahan antara Katolik Ritus Barat - Katolik Ritus Timur - Kristen Protestan.
Kami pernah mengalaminya. Tapi toh itu sudah ratusan tahun yang lalu. Kini ada ekumene: Sebuah kesadaran bahwa di antara sekian banyak perbedaan, ada satu pokok yang sama, yaitu iman yang sama. Lebih dari kesadaran tentang iman yang sama, tetapi dunia yang sama, masalah sosial yang sama, bahkan kemiskinan yang sama.
Evolusi (dan revolusi) itu memang menyakitkan karena masuk ke zona sangat tidak nyaman. Tetapi itu adalah proses perkembangan yang sepertinya tidak bisa dihindari. Suatu saat nanti, liberal-moderat dan fundamental-radikal-konservatif-dogmatis akan duduk dalam meja yang sama dan membicarakan masalah dunia yang sama: kemiskinan, moralitas, dan masalah-masalah aktual lainnya. Harapanku…
Evolusi: Kami Sudah Pernah Melaluinya
Reviewed by Afrianto Budi
on
Minggu, Juni 03, 2012
Rating:
Tidak ada komentar:
Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini