Oleh: Manan Onym
Sebagaimana artikel pertama saya yang mempertanyakan gelar ustad, standarisasi dan pengawasan kualitasnya. Maka gelar haji inipun sudah lama mengganggu pikiran saya mengenai manfaat dan mudharatnya.
Menurut pemikiran saya pencantuman gelar haji ini dimulai sejak jaman dulu, dimana naik haji tidaklah semudah jaman sekarang. Dahulu perjalanan haji ditempuh dengan kapal laut selama berbulan-bulan. Orang yang berangkat haji boleh dibilang sama dengan bertaruh nyawa. Oleh karena itu haji jaman dahulu benar-benar mencerminkan kadar kualitas dari keimananan seseorang. Dan biasanya jika seseorang sudah berniat haji, maka dia benar-benar mempersiapkan dirinya dengan belajar banyak ilmu agama sebelumnya, sehingga sesudah pulang haji, beliau benar-benar bisa menjadi panutan bagi orang sekitarnya. Dan pada saat hajipun tak jarang yang sambil menimba ilmu di sana. Kesulitan naik haji di jaman dahulu telah menseleksi orang-orang yang berangkat haji adalah orang-orang yang serius menekuni dunia agama. Begitulah kualitas haji di jaman dahulu.
Di jaman sekarang, haji sudah bukan perkara yang seberat jaman dulu lagi. Siapapun yang punya uang bisa berangkat haji. Bahkan haji plus sudah serasa wisata ke luar negeri saja. Maka hajipun kembali ke esensi asalnya, yaitu sebagai rukun Islam ke 5. Berangkat haji adalah merupakan suatu pemenuhan kewajiban bagi mereka yang mampu, bukan lagi menunjukkan kualitas dari mereka yang berangkat haji.
Mengingat hal tersebut di atas, maka pencantuman gelar haji menjadi patut dipertanyakan, karena sudah tidak relevan lagi di masa sekarang ini. Sangat dikhawatirkan bahwa pencatuman gelar haji malah akan menimbulkan lebih banyak mudharatnya dibandingkan manfaatnya. Karena manfaat gelar haji sudah sangat jauh berkurang dibandingkan dengan jaman dahulu. Sedangkan mudharatnya semakin bertambah banyak, yaitu antara lain:
- Untuk bangga-banggaan dan menyombongkan diri sendiri.
- Untuk menaikkan status sosial. Dalam hal ini saya malah lebih respek ke Pak Harto yang naik haji di usia lanjut, yang menunjukkan bahwa beliau tidak memanfaatkan gelar hajinya untuk menarik simpati massa, terlepas dari baik buruk atau benar salah dari tindakan beliau lainnya.
- Untuk keperluan bisnis. Baik bisnis yang jujur, yang abu-abu, maupun bisnis yang bermoduskan penipuan
- Untuk mencuci nama atau menutupi keburukan diri. Betapa banyak cerita tentang haji yang menjadi dalang kejahatan, atau yang melakukan perselingkuhan, atau tindakan amoral lainnya. Terlepas dari benar tidaknya berita tersebut.
- Untuk hal-hal yang tidak penting lainnya, yang tidak berkaitan dengan tujuan dari ibadah haji itu sendiri.
Marilah kita kembalikan ibadah haji kembali ke fitrahnya, yaitu sebagai rukun Islam ke 5, sama seperti ke 4 rukun Islam lainnya. Jangan gunakan gelar haji lagi di depan nama. Mari kita luruskan kembali moral bangsa ini. Mungkin dengan demikian, fenomena kehebohan haji di Indonesia bisa jauh dikurangi, dan kembali ke level yang sewajarnya saja.
Gelar Haji Sebaiknya Dilarang Saja
Reviewed by Afrianto Budi
on
Selasa, Juni 05, 2012
Rating:
Tidak ada komentar:
Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini