Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat dua kelompok pasal yang bersinggungan dengan agama. Pertama, kelompok pasal tindak pidana ‘yang ditujukan langsung terhadap agama’ dan, kedua, kelompok pasal tindak pidana ‘yang bersangkutan/berhubungan dengan agama’.
Kelompok pertama
Pasal 156
Termasuk ke dalam sistem keyakinan meliputi Rukun Iman dan Rukun Islam dalam agama Islam; Credo 12 dalam agama Kristen; Widhi Cradha dalam agama Hindu yang sistem keyakinannya sebagai Sadsaddha. Sedangkan cakupan sistem ritus ibadah meliputi tapi tak terbatas seperti solat, puasa, haji, dll dalam agama Islam; pada agama Kristen seperti kebaktian, misa, dll. Sementara sistem kesatuan sosial pemeluk/umat adalah umat beragama sebagai kesatuan sosial keumatan dalam Islam, Kristen, Hindu, Budha dll.
Kelompok kedua
Selain pasal ‘tindak pidana yang ditujukan terhadap agama’, ada juga pasal tindak pidana ‘yang bersangkutan/berhubungan dengan agama’.
Kategori cakupan norma hukum dalam kelompok kedua ini sangat luas, yang dapat dikelompokan ke dalam delik-delik kesusilaan, dan delik-delik pada umumnya yang dikaitkan dengan agama. Pasal-pasal pidana kategori kelompok kedua ini adalah: Pasal 175 s/d 181, dan Pasal 503 ke 2 KUHP.
Pasal 175
1.
Perlu diperhatikan, kelompok pasal di atas tidak mencakup perbuatan yang ditujukan melakukan penodaan terhadap Tuhan atau dikenal sebagai “blasphemy” atau “Godslatering” atau “Gotteslasterung”, penghinaan nabi, rasul, kitab suci, pemuka agama, lembaga agama, dan penyiaran atau penyebaran agama. Jika ada orang yang menghina Tuhan suatu pemeluk agama, perbuatan tersebut tidak bisa dijerat dengan pasal-pasal tersebut pada kelompok pertama di atas.
Kriminalisasi perbuatan blasphemy dst belakangan dimasukan dalam RUU KUHP. Dalam Draf RUU KUHP versi tahun 2004, blasphemy dimuat dalam Pasal 337. Sedangkan penghinaa rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, dan ibadah keagamaan…dicantumkan dalam Pasal 338.
2.
Pasca empat kali perubahan UUD 1945 tahun 1999-2002, ketentuan-ketentuan pasal delik agama di atas menjadi riskan diterapkan. Sebab, pasal-pasal penyebar kebencian (haatzaai artikelen) tersebut tergolong sebagai “pasal karet” yang multitafsir, yang sejarahnya digunakan pemerintah kolonial Belanda untuk membungkam kaum pergerakan.
Dalam kaitan ini, penegak hukum memiliki diskresi atau kewenangan untuk tidak menerapkan atau menyimpangi pasal-pasal tersebut, seperti halnya tidak menerapkan pidana terhadap pengemis yang nota bene ada pasal pidananya dalam KUHP. Namun kata akhir diterapkan atau tidak ada di penegak hukum.
3.
Ke depan, salah satu agenda pembaharuan hukum pidana adalah memperbaiki muatan norma dari delik-delik agama agar sesuai dengan nafas negara hukum demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[]
Referensi: R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, ed. 5 cet. 12, penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006; Supanto, Delik Agama, penerbit LPP UNS dan UNS Press, cet. 1, Surakarta, 2007. (Sutomo Paguci)
Sumber KOMPASIANA
Kelompok pertama
Pasal 156
Barang siapa di muka umum menyatakan
perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau
beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan ancaman pidana
penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.
Penjelasan: Perkataan golongan dalam
pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat
Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena
ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan, atau
kedudukan menurut hukum tata negara.
Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yagn dianut di Indonesia;
b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 157
(1) Barang siapa menyiarkan,
mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum,
yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau
penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia,
dengan maksud supaya isinya dikethaui atau lebih diketahui oleh umum,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan
kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu
belum lewat lima tahun sejak pemindanaannya menjadi tetap karena
kejahatan semacam itu juga yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan
pencarian tersebut.
Kelompok pasal tersebut di atas ditujukan untuk perbuatan-perbuatan
menyangkut (i) sistem keyakinan/kepercayaan, (ii) sistem ritus/ibadah,
dan (iii) kesatuan sosial pemeluk/umat.Termasuk ke dalam sistem keyakinan meliputi Rukun Iman dan Rukun Islam dalam agama Islam; Credo 12 dalam agama Kristen; Widhi Cradha dalam agama Hindu yang sistem keyakinannya sebagai Sadsaddha. Sedangkan cakupan sistem ritus ibadah meliputi tapi tak terbatas seperti solat, puasa, haji, dll dalam agama Islam; pada agama Kristen seperti kebaktian, misa, dll. Sementara sistem kesatuan sosial pemeluk/umat adalah umat beragama sebagai kesatuan sosial keumatan dalam Islam, Kristen, Hindu, Budha dll.
Kelompok kedua
Selain pasal ‘tindak pidana yang ditujukan terhadap agama’, ada juga pasal tindak pidana ‘yang bersangkutan/berhubungan dengan agama’.
Kategori cakupan norma hukum dalam kelompok kedua ini sangat luas, yang dapat dikelompokan ke dalam delik-delik kesusilaan, dan delik-delik pada umumnya yang dikaitkan dengan agama. Pasal-pasal pidana kategori kelompok kedua ini adalah: Pasal 175 s/d 181, dan Pasal 503 ke 2 KUHP.
Pasal 175
Barang siapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan merintangi pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan
diijinkan, atau upacara pertemuan keagamaan yang diijinkan, atau upacara
penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan.
Pasal 176
Barang siapa dengan sengaja
mengganggu pertemuan keagamaan yagn bersifat umum dan diijinkan, atau
upacara keagamaan yang diijinkan atau upacara penguburan jenazah dengan
menimbulkan kekacauan atau suara gaduh, diancam dengan pidana penjara
paling lama satu bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak seribu
delapan ratus rupiah.
Pasal 177
Diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah:
1. Barang siapa menertawakan seorang petugas agama dalam menjalankan tugas yang diijinkan;
2. Barang siapa menghina benda-benda utnuk keperluan ibadat di tempat atau pada waktu ibadat dilakukan.
Pasal 178
Barang siapa dengan sengaja
merintangi atau menghalang-halangi jalan masuk atau pengangkutan mayat
ke kuburan yang diijinkan, diancam dengan penjara paling lama satu bulan
dua minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah.
Pasal 179
Barang siapa dengan sengaja menodai
kuburan atau dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan atau merusak
tanda peringatan di tempat kuburan, diancam dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan.
Pasal 180
Barang siapa dengan sengaja dan
melawan hukum menggali atau mengambil jenazah atau memindahkan atau
mengangkut jenazah yang sudah digali atau diambil, diancam dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 181
Barang siapa mengubur,
menyembunyikan, membawa lari atau menghilangkan mayat dengan maksud
menyembunyikan kematian atau kelahiran, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.
Pasal 503 ke 2
Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga hari atau pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah:
2. Barang siapa membikin gaduh di
dekat bangunan untuk menjalankan ibadat yang dibolehkan atau untuk
sidang pengadilan, pada waktu ada ibadat atau sidang.
Catatan 1.
Perlu diperhatikan, kelompok pasal di atas tidak mencakup perbuatan yang ditujukan melakukan penodaan terhadap Tuhan atau dikenal sebagai “blasphemy” atau “Godslatering” atau “Gotteslasterung”, penghinaan nabi, rasul, kitab suci, pemuka agama, lembaga agama, dan penyiaran atau penyebaran agama. Jika ada orang yang menghina Tuhan suatu pemeluk agama, perbuatan tersebut tidak bisa dijerat dengan pasal-pasal tersebut pada kelompok pertama di atas.
Kriminalisasi perbuatan blasphemy dst belakangan dimasukan dalam RUU KUHP. Dalam Draf RUU KUHP versi tahun 2004, blasphemy dimuat dalam Pasal 337. Sedangkan penghinaa rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, dan ibadah keagamaan…dicantumkan dalam Pasal 338.
2.
Pasca empat kali perubahan UUD 1945 tahun 1999-2002, ketentuan-ketentuan pasal delik agama di atas menjadi riskan diterapkan. Sebab, pasal-pasal penyebar kebencian (haatzaai artikelen) tersebut tergolong sebagai “pasal karet” yang multitafsir, yang sejarahnya digunakan pemerintah kolonial Belanda untuk membungkam kaum pergerakan.
Dalam kaitan ini, penegak hukum memiliki diskresi atau kewenangan untuk tidak menerapkan atau menyimpangi pasal-pasal tersebut, seperti halnya tidak menerapkan pidana terhadap pengemis yang nota bene ada pasal pidananya dalam KUHP. Namun kata akhir diterapkan atau tidak ada di penegak hukum.
3.
Ke depan, salah satu agenda pembaharuan hukum pidana adalah memperbaiki muatan norma dari delik-delik agama agar sesuai dengan nafas negara hukum demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[]
Referensi: R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, ed. 5 cet. 12, penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006; Supanto, Delik Agama, penerbit LPP UNS dan UNS Press, cet. 1, Surakarta, 2007. (Sutomo Paguci)
Sumber KOMPASIANA
Hal Delik Agama, Dapatkah Penghina Tuhan Dipenjara?
Reviewed by Afrianto Budi
on
Jumat, Juni 08, 2012
Rating:
Tidak ada komentar:
Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini