Agama [Sanskerta, a = tidak; gama = kacau] artinya
tidak kacau; atau adanya keteraturan dan peraturan untuk mencapai arah
atau tujuan tertentu. Religio [dari religere, Latin] artinya
mengembalikan ikatan, memperhatikan dengan saksama; jadi agama adalah tindakan
manusia untuk mengembalikan ikatan atau memulihkan hubungannya dengan Ilahi.
Dari sudut kebudayaan, agama adalah salah satu hasil
budaya. Artinya, manusia membentuk atau menciptakan agama karena kemajuan dan
perkembangan budaya serta peradabannya.
Dengan itu, semua bentuk-bentuk penyembahan kepada
Ilahi [misalnya nyanyian, pujian, tarian, mantra, dan lain-lain] merupakan
unsur-unsur kebudayaan. Dengan demikian, jika manusia mengalami kemajuan,
perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan kebudayaan, maka agama pun mengalami
hal yang sama. Sehingga hal-hal yang berhubungan dengan ritus, nyanyian, cara
penyembahan [bahkan ajaran-ajaran] dalam agama-agama perlu diadaptasi sesuai
dengan sikon dan perubahan sosio-kultural masyarakat. [lengkapnya klik pengertian agama]
Pada masa kini, (terutama di Indonesia), semakin sulit
sulit menemukan kaum agamawan (khususnya pemimpin-pemimpinnya), berani
menyatakan ada persamaan pada agama-agama. Kaum agama dengan mudah
mengungkapkan superior agama, seakan-akan tidak ada satupun titik kesamaan pada
agama-agama. Akibatnya, tokoh agama berlomba mengkesampingkan yang lain;
sedikit yang berusaha menunjukkan persamaan. Padahal, ada banyak hal yang
merupakan persamaan agama-agama, dan cuma sedikit perbedaan. Lalu, di mana letak
persamaan dan perbedaan tersebut? Namun, perlu diingat bahwa bukan kata agama
yang berbeda ataupun sama, melainkan semua hal yang terhisab dalam agama.
Ada banyak faktor yang menjadikan adanya perbedaan
agama, dan sekaligus merusak
kesucian agama; bahkan merusak umat beragama.Salah satu hal yang utama adalah
pengaruh luar atau agama dipengaruhi hal-hal dari luar ajaran agama.
Faktor-faktor luar tersebutlah yang membuat agama berbeda; atau lebih
tepatnya menjadikan umat beragama semakin berbeda satu sama lain.
Harus diakui bahwa
ajaran-ajaran agama telah berkembang menjadi sesuatu yang bernilai sakral. Umat
beragama atau para penganutnya memahami dan mengikuti ajaran-ajaran tersebut
sebagai kata-kata atau Firman dari Sang Maha Suci yang mereka sembah. Oleh sebab
itu, sepatutnya ajaran-ajaran agama imun dari pengaruh apapun. Akan tetapi
dalam perkembangannya, ternyata umat beragama (terutama para pemimpim
keagamaan) membuka diri terhadap berbagai hal dan memasukannya sebagai bagian
ajaran agama. Hal-hal yang sangat berpengaruh pada ajaran agama, dan justru
ikut merusak agama, misalnya.
1.
Pengaruh
kekuasaan politik ke dalam ajaran-ajaran agama. Ajaran agama yang seharusnya
melintasi batas-batas yang dibangun manusia (termasuk perbedaan politik),
menjadi sangat rentan terhadap pengaruh dan tujuan politik dan kekuasaan. Dalam
hal ini, umat beragama menggunakan agama sebagai alat legitimasi untuk mendapat
kedudukan dan berkuasa terhadap manusia yang lain.
2.
Pengaruh
sejarah agama-agama (Sejarah Penyebaran Agama dan Sejarah Masuknya Agama) ke
dalam komunitas masyarakat. Indonesia sebagai contoh, ± tahun 400 Masehi, telah
ada komunitas Kristen (dari Gereja Khaldea Timur) di Pancur (Sumatera Utara
Bagian Barat). Komunitas ini mengalami berbagai rintangan intern dan ekstern,
sehingga tidak berkembang dan hilang. Kemudian, masuknya agama Islam; serta
Katolik dan Protestan seiring dengan mobilitas bangsa-bangsa Eropah [dengan
berbagai kepentingan] ke Asia, termasuk Nusantara. Karena berbagai kepentingan
politis serta alasan tertentu, terjadi pengaburan, penutupan, penghilangan,
fakta-fakta sejarah sesuai kepentingan kekuasaan. Akibatnya, ada agama yang
dianggap asli milik rakyat dan diindentifikasikan dengan suatu kelompok suku
serta sub-suku. Kemudian, ada agama disebut sebagai agama pendatang, agama
asing, bahkan agama kolonial. Indentifikasi agama sebagai salah satu indentitas
komunitas masyarakat suku serta sub-suku seperti itulah, membawa dampak
perbedaan pada umat beragama. Jadi, bukan saja agama itu sendiri yang berbeda,
tetapi manusia yang beragama itupun mempunyai perbedaan. Dengan adanya
perbedaan seperti ini, maka sangat rentan terjadinya konflik antar umat
beragama. Misalnya, jika terjadi pertikaian antara anggota suku atau sub-suku
yang (yang kebetulan berbeda agama), maka akan mudah terprovokasi menjadi
konflik antar umat beragama. Bahkan ada agama memakai konflik masa lalu (pada
konteks ruang dan waktu atau masa lalu di luar Indonesia) sebagai bagian
perbedaan pada masa kini.
3.
Pengaruh
Kebudayaan serta adat istiadat. Misalnya, pakaian dan cara berpakaian, yang
tadinya merupakan kebiasaan pada suatu bangsa, suku, sub-suku, ataupun
komunitas masyarakat tertentu, dimasukkan sebagai busana keagamaan; corak
tempat (gedung) ibadah, yang merupakan hasil karya manusia, diidentifikasikan
sebagai bentuk milik agama tertentu; bahasa-bahasa (termasuk istilah-istilah)
rakyat disamakan dengan bahasa keagamaan dan tidak boleh dipakai oleh agama
lain.
Hal-hal yang Merusak Agama di Nusantara
Reviewed by Afrianto Budi
on
Kamis, Juni 14, 2012
Rating:
Tidak ada komentar:
Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini