Menyimak artikel saudara Aan, membuat memori saya menyeret ke masa
silam. Di mana bapak pernah kedatangan seorang tamu yang mengaku
mewakili salah satu agama. Belakangan saya mengetahui bahwa tamu
tersebut ialah seorang -maaf- pemeluk Kristen dari Saksi Yehova.
Bapak, walaupun keras dalam perihal agama, merupakan sosok yang toleran.
Tak nampak emosi sedikitpun terpancar di wajah Beliau kala menghadapi
tamu itu. Bahkan sesekali terdengar canda tawa mereka. Bak sahabat yang
lama tak bertemu, mereka saling tukar pengalaman hidup. Tak ada obrolan
tentang agama, meski awalnya demikian. Tak terdengar pula bentakan
ataupun caci maki. Yang ada hanya jabat tangan antara Islam dan Kristen.
Dan tamu itu berlalu pergi setelah memaksa bapak menghabiskan satu
bungkus rokok kretek kesayangannya. Tak lupa di tangan Bapak ada sebuah
Alkitab, hadiah dari sang tamu, yang kemudian diserahkan kepada saya.
Bapak singkat berkata, “Itu salah satu bentuk Kristenisasi, dan kita
harus menghargai mereka”. Jawaban Bapak ini kembali terngiang, seiring
dengan saudara Aan yang menulis suatu artikel mengenai “sarimi dan
Kristenisasi”. Sungguh, saya tak melihat sarimi saat itu. Yang terlihat
adalah hubungan yang toleran antara seorang Muslim dan Nasrani.
Tak dapat dipungkiri bahwa Islam dan Kristen merupakan agama yang
menganut ajaran penyebaran. Di Indonesia, Islam, yang terlebih dahulu
masuk, menyebarkan agamanya kepada masyarakat lokal setempat yang
beragama non Muslim. Dan itu salah satu bentuk dari Islamisasi. Nasrani
datang kemudian. Tak jelas kapan dimulainya ajaran Nasrani ini masuk ke
Indonesia, termasuk siapa yang membawanya. Hanya saja, dalam buku2
sejarah, saya -khususnya- diberi pandangan bahwa agama Nasrani masuk ke
Indonesia seiring dengan datangnya para penjajah negeri ini. Suatu kasus
sejarah yang wajib kita telaah ulang bersama.
Nampaknya sejarah inilah yang demikian kuatnya melekat pada pikiran
setiap anak bangsa. Tak heran jika akhirnya kita mengalami semacam
trauma takkala berimteraksi dengan pemeluk agama Kristen. Hal semacam
ini tambah diperparah dengan minimnya dialog terbuka antar agama.
Mengingat kultur masyarakat kita yang beranggapan bahwa diskusi lintas
iman adalah sesuatu yang tabu, karena berbau SARA.
Padahal dengan adanya diskusi yang intens antara para pemuka agama, akan
menutup pintu dis-komunikasi antara agama yang bersangkutan. Tak heran
bila usaha apapun yang dilakukan oleh pemeluk agama dianggap sebagai
bagian dari “si-si” itu. Ini tah hanya terjadi di Indonesia. Amerika,
misalnya, pasca tragedi WTC seakan mengalami Islamophobia. Sehingga
seluruh perbuatan muslim akan dianggap sebagai bagian dari Islamisasi.
Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa “si-si” itu niscaya ada dan
melekat dalam benak setiap masyarakat agamis yang mana pemeluknya
merupakan mayoritas.
Agaknya para pemeluk agama harus duduk bersama dalam satu meja. Bukan
untuk memperdebatkan kebenaran yang bersifat relative, tetapi untuk
merumuskan bagaimana sumbangsih agama terhadap isu2 kemanusiaan. Dalam
buku “Masa Depan Tuhan”, Karen Armstrong pesimis akan berhasilnya agama
dalam membangun peradaban dunia yang berwajah humanis. Di satu sisi
Karen benar, sementara di sisi lainnya, Ia salah. Sebab agama dan
pemeluknya telah terbukti membangun berbagai peradaban di belahan dunia.
Tetapi tak dapat dipungkiri bahwa banyak peradaban dunia yang hancur
oleh pertikaian antar pemeluk agama dengan mengatasnamakan agama.
Di sinilah kita berhenti sejenak. berhenti untuk merumuskan bagaimana
“Masa depan Tuhan” di masa mendatang. Perlu dipertimbangkan oleh umat
beragama Firman Allah dalam Alquran yang menyuruh agar kaum muslimin
menyeru kepada umat Nasrani -khususnnya- dengan “Kalimat As-Sawa”. Dan
salah satu makna “Kalimat Sawa” (persamaan) ialah nilai2 humanisme yang
terkandung di dalam ajaran ke dua agama. Islam yang bermakna damai dan
Kristen yang dipenuhi ajaran kasih Yesus.
Oleh karenanya, marilah wahai saudara2-ku sebangsa, meski tak seiman,
para Umat Nasrani, kita bersama meretas kembali hubungan yang sempat
tehinggapi rasa saling curiga. demi menyongsong “masa depan Tuhan” yang
lebih baik, saling menghargai, asah-asih-asuh untuk diwariskan kepada
generasi mendatang.
Oleh: Dewa Gilang
Kompasiana.com
Kristenisasi Dalam Pandangan Santri NU
Reviewed by Afrianto Budi
on
Senin, Juni 11, 2012
Rating:
Tidak ada komentar:
Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini