Maaf, langsung saja tanpa perlu panjang berbasa-basi ria. Sebab seluruh kompasioner telah mengetahui apa definisi poligami. Demikian pula dengan efek positif dan negatif yang ditimbulkannya. Bagi saya, selaku pria, jelas senang dengan kata poligami. Entah dengan pria2 yang lainnya. Tapi bagi wanita, jelas bak mimpi buruk yang tak diharapkan terwujud dalam realita rumah tangganya. Entah bagi wanita yang beriman baja. Untuk lebih memudahkan sejauh mana saya memahami poligami, saya akan membaginya menjadi beberapa point:
Pertama:
Kita telah tahu bersama, bahwa dalam agama apapun tujuan rumah tangga ialah membentuk rumah tangga yang penuh kedamaian, kasih sayang serta ketentraman. Islam mengistilahkannya dengan “Mawaddah, Sakinah, Wa Rahmah”. Rassul Saww pernah berkata bahwa “Baiti Jannati”. Harapannya jelas, yaitu agar kita mewujudkan suasana surga dalam rumah tangga kita.
Pertanyaannya: Bila demikian tujuan berumah tangga, apakah dengan berpoligami akan bisa terwujud. Dengan kata lain, apakah poligami akan mendatangkan kedamaian, ketenteraman serta kasih sayang yang penuh terhadap satu rumah tangga?. Dengan menjawab pertanyaan ini dengan jujur, anda akan lebih mudah mengetahui posisi anda, apakah pro atau kontra?.
Kedua:
Ada satu ayat yang sering diajukan untuk menjadi landasan argumen berpoligami, yaitu Surah An-Nisa: 3, “Kawinilah wanita yang kamu senangi dua, tiga atau empat”.Namun ayat tersebut juga mengandung syarat, yaitu bersikap adil. Sehingga pemahaman sementara ialah, silahkan berpoligami asal adil.
Cukupkah sampai di sana?. Tentu tidak!. Sebab suatu pemahaman tentu mengandung pemahaman yang bertentangan. Dalam bahasa mantiq adalah mafhum mukholafah. Sehingga timbul pemahaman, tidak diperkenankan berpoligami jika tidak adil.
Baiklah, anda akan mengatakan bahwa anda mampu adil dalam berpoligami. Tetapi, sayangnya, kriteria adil yang anda gunakan hanyalah sebatas materi. Anda lupa ada kriteria adil yang non material, yaitu keadilan dalam masalah hati. Pertanyaannya: Mampukah anda adil dalam hal yang non material itu?.
Alquran dalam Surat yang sama, yaitu An-Nisa: 129 mengatakan, “Dan kamu sekali-sekali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu.” Dengan ayat ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa: Sesungguhnya Islam menolak secara halus adanya poligami dalam rumah tangga, tetapi kita tidak menyadarinya.
Ketiga: Lalu jika Islam menolak secara halus ajaran poligami, mengapa Nabi Saww berpoligami?.
Untuk menjawabnya, kita harus memahami beberapa point terlebih dahulu, yaitu:
a. Setujukah kita bila poligami itu adalah budaya?. Maksudnya, jauh sebelum ajaran Nabi Saww menyebarkan ajaran Islam, masyarakat -arab khususnya- telah mengenal poligami. Kemudian Islam datang dengan tidak membabi buta menghapus budaya tersebut, melainkan mengakomodirnya dengan memberi batasan2 tertentu. Jika dahulu budaya poligami tak terbatas bilangannya, Islam membatasinya. Jika dahulu budaya poligami terkesan serampangan, tanpa aturan, tak peduli adil atau tidak, Islam membatasinya dengan kait adanya keadilan.
b. Setujukan anda bahwa Islam mempunyai nilai2 yang universal?. Maksudnya, nilai2 ajaran Islam dapat menembus sekat ruang dan waktu. Sehingga mungkin saja, kita menemukan nilai2 Islam meskipun di belahan dunia yang tidak ditemukan keberadaan seorang Muslim.
Jika kita setuju, lalu siapa yang berhak menjadi model untuk mengejo wantahkankehendak Tuhan melalui ajaran Islam. Dengan kata lain, siapa yang sanggup menerjemahkannya nilai2 univesal yang dikehendaki oleh Tuhan melalui ajaran Islam?.
Bila anda menjawab Nabi Saww, maka pertanyaan ketiga di atas telah setengah terjawab. Sebab Tuhan hendak mengajarkan kepada kita nilai2 universal dalam berumah tangga. Dan oleh karena Nabi Saww yang sanggup menjadi “penerjemah” kehendak Tuhan, jelas Nabi Saww membutuhkan poligami sebagai rule model dalam rumah tangga yang menjadi kehendak Tuhan. Oleh karenanya ada ulama yang membagi sunnah Nabi Saww menjadi dua bagian, yaitu sunnah umum dan sunnah yang khusus.
Keempat: Tapi poligami itu kan sunnah Nabi Saww yang bersifat umum dan bukan khusus?. Baiklah saya mengikuti logika anda. Jika anda mengatakan sunnah Nabi Saww tersebut sebagai suatu sunnah yang umum, maka anda harus konsekuen terhadap sunnah itu. Maksudnya, jangan anda hanya mengikuti sunnah dalam jumlah bilangannya saja, tetapi ikuti juga yang lainnya. Sebab jika kita bicara sunnah, maka kita bicara tentang keseluruham, dan bukan sepenggal.
Dalam sejaran, Nabi Saww terbukti berpoligami setelah istri pertama Beliau, Ibunda Khadijah meninggal dunia. Itu satu. Yang kedua, Nabi Saww terbukti tidak pernah berpoligami dengan seorang wanita yang -maaf- masih segar, montok bin bahenol. Bahkan hanya Ibunda A’isyah-lah istri yang Beliau nikahi dalam keadaan -maaf- perawan, selebihnya tidak. Jadi agaknya anda telah mengerti tujuan saya.
Kelima: Tetapi saya -seorang wanita- mengizinkan suami saya untuk berpoligami, karena saya ingin meraih surga. Untuk menjawabnya, saya akan membagi kepada dua point, yaitu:
a. Saya hargai keputusan wanita yang mau dipoligami. Dan saya tak akan seperti anak kecil berteriak-teriak tentang HAM. Sebab dengan menyangkal atau melarang wanita tersebut, sebenarnya saya-pun telah melanggar HAM si wanita yang mau dipoligami. Tetapi, bukankah melarang seorang pria untuk berpoligami adalah perbuatan melanggar HAM juga?. Untuk menjawab yang satu ini, saya serahkan saja kepada nurani Istri. Jika istrinya tak setuju dan suami tetap melakukan poligami, maka sebenarnya si suami-pun pada hakikatnya telah melanggar HAM seorang istri. Jadi pesan saya bagi pria yang ingin berpoligami, baik2-lah terhadap istri, agar anda diizinkan berpoligami (becanda gan).
b. Di atas kita telah diterangkan bahwa sebenarnya agama mengandung nilai2 yang universal, dan kesabaran ialah salah satunya. Nabi Saww mengatakan demikian, sesungguhnya yang dituntut dari seorang istri bukanlah sudi atau tidaknya dipoligami sebagai standar penghuni surga, melainkan kesabaran yang penuh dalam berumah tangga. Biarpun istri dipoligami seribu kali, tetapi bila menjerumuskan ia kepada dosa hati, apakah akan menjamin menjadi penghuni surga?.
keenam: Tapi poligami adalah solusi terbaik daripada selinguh atau berzinah?. Benar, poligami merupakan salah satu solusi, tetapi ia bukan satu2-nya solusi. Nabi Saww mempunyai cara yang efektif untuk meredam syahwat liar kita selaku manusia. Takkala Beliau ditanya oleh seorang sahabat yang belum mampu menikah, Nabi Saww menjawab: “berpuasalah”. Nabi sebenarnya tidak menyuruh kita berpuasa, walau tekstualnya demikian, tetapi lebih kepada nilai yang dikandung oleh puasa itu sendiri. Bukankah puasa mengajarkan kepada kita untuk menjadi manusia yang sabar, menerima apa adanya (qanaah) sekaligus mampu menahan hawa nafsu -maaf- hewani?.Jadi benarkah poligami merupakan solusi jika masih tersedia opsi yang lainnya?. Nurani yang menjawabnya.
Kemudian jika mencermati ayat2 dalam Surat An-Nisa secara keseluruhan, kita akan mendapatkan bahwa sebenarnya Islam memperbolehkan poligami sebagai solusi dari anak yatim. Sebab pada ayat kedua hingga ketiga pada Surat An-Nisa, anak yatimlah yang menjadi topik pembicaraan. Jadi anda sudah tahu bahwa poligami ialah solusi bagi berbagai ketimpangan sosial dan bukan solusi sebagai pelampaisan syahwat.
Saya pribadi tidak akan pernah melarang poligami, berpandangan negatif terhadap pelaku poligami dan tidak berminat untuk melakukan poligami. Untuk yang terakhir, alasannya adalah karena saya masih di bawah umur. Entahlah jika saya telah dewasa nanti. Hihihhiihhi. Jadi akankah anda berpoligami?. Monggo dipikir ulang kembali.
Dan mohon bagi yang berminat poligami, jangan membawa-bawa ayat Alquran sebagai landasan keputusan anda. Sebab, secara tak sengaja anda telah men-diskreditkan Islam yang menghendaki monogami sebagai ajaran dalam pernikahan.
Oleh: Dewa Gilang
Sumber: Kompasiana.com
Poligami di Antara Pro dan Kontra
Reviewed by Afrianto Budi
on
Selasa, Juni 12, 2012
Rating:
Tidak ada komentar:
Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini