banner image

Sedih pada Kompasiana: Mengeluh pada Siapa?


Saya bergabung dengan kompasiana sejak Februari 2012 yang lalu. Entah kenapa, mata saya digiring pada topik yang cukup sensitif, yaitu soal agama dengan segala dimensinya. Mungkin karena saya adalah bagian dari minoritas, maka sebenarnya saya ingin tahu bagaimana “mereka” membicarakan “kami”, atau sesama “mereka” saling berbicara. Namun semakin sering mengikuti diskusi (walau cuma nonton) lama-kelamaan saya sedih juga.
Kesedihan saya ini dibungus oleh beberapa poin:
  1. Ada banyak akun klonengan yang bisanya komentar panjang lebar, tapi nol tulisan. Biasanya akun klonengan melirik pada isu-isu yang aktual, termasuk isu beragama maupun isu soal bola. Mereka tidak segan-segan mengeluarkan makian, intimidasi, ancaman yang tidak layak bagi seorang yang masuk ke sebuah portal kompasiana yang adalah bagian dari KOMPAS.com. Entah mereka mau bertingkah apa, tentu kompasianers sejati tahu harus berbuat apa.

  2. Beberapa kompasianers menulis tentang toleransi beragama. Ada yang pro-toleransi, ada pula yang kontra. Mayoritas dengan enaknya mengakui bahwa memang tidak toleran itu biasa. Di negara-negara lain juga begitu. Yang minoritas pasti korban intoleransi. Ngomong kok seenak wudelnya. Memang dari ratusan negara di bumi ini, berapa yang intoleransinya setragis Indonesia? Kalau mendekati 100% setragis Indonesia, okelah, saya maklumi. Tapi ini adalah negara Republik Pancasila, bukan negara agama. Tentu anak SD pun tau tentang hal itu. Inilah yang disebut dengan banalitas kejahatan: perbuatan jahat tapi dianggap biasa. Arogansi agama mengalahkan hak manusia. Di sini agama menunjukan sisi negatifnya. Kenapa Indonesia tidak mencontohkan hal baik yang berbeda? Menyedihkan.

  3. Tafsiran Pancasila. Saya yakin bahwa kompasianer tentu pernah membaca Pancasila beserta butir-butirnya, yah, minimal sudah pernah liat lah… Gusdur dan para pemimpin bangsa ini jelas-jelas mengatakan bahwa Pancasila harga mati. Kenapa masih saja ada yang meributkan soal Negara Islam Indonesia, yang bagi saya itu gagasan yang menyedihkan. Mungkin mayoritas senang, tapi bagi minoritas tentu merasa bahwa keberadaannya di Indonesia hanya bertamu. Ada pula jalan tengah yang menafsirkan bahwa Pancasila sudah mencitrakan negara Islam itu sendiri. Jalan tengah itu mungkin baik kalau menjadi ideologi pribadi. Tapi tetap, bahwa butir-butir P4 Pancasila adalah ideologi negara yang tak tergantikan.

  4. Fenomena saling mengkafirkan dan melecehkan muncul juga di kompasiana. Sesama umat saja masih berdebat dan mengkafirkan. Mana yang benar dan mana yang salah pun masih tidak jelas. Artinya apa? Ada banyak aliran Islam di Indonesia yang harus duduk bersama membicarakan tentang hal penting di dalam tubuh mereka: mau terus berdebat dan saling mengalahkan atau mau membuat solusi pedamaian. Kalau urusan intern Islam di Indonesia saja masih belum beres, apa jadinya Indonesia kalau jadi negara agama, tentu semuanya jadi lebih nggak beres. Berbenah dulu baru melangkah.
Kesedihan ini entah mau dikeluhkan pada siapa. Yang jelas, kasihan Tuhan Sang Pencipta. Ternyata sudah banyak manusia yang tidak perlu memakan buah terlarang, mereka sudah sok pintar menerjemahkan apa maksud Tuhan. Mungkin buah terlarang itu adalah “Kitab Suci”, yang kalau dimakan mentah-mentah, orang justru jatuh ke dalam kesombongan terhadap Tuhan.
Semoga Tuhan dan Surga-Nya memang ada, sebab kalau tidak ada, maka sia-sialah manusia berdebat tentang-Nya sehingga melupakan sesamanya.
(Catatan harian ini masih kutulis di sebuah lorong yang sempit, kotor, dan lembab: Indonesia)
Sedih pada Kompasiana: Mengeluh pada Siapa? Sedih pada Kompasiana: Mengeluh pada Siapa? Reviewed by Afrianto Budi on Kamis, Juni 07, 2012 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini

Diberdayakan oleh Blogger.