Salah satu ciri unik dari agama adalah kemampuannya dalam menakut-nakuti. Rasa ketakutan itu mirip dengan rasa ketakutan yang ditanamkan kepada seorang bocah terhadap sandekala atau wewe gombel yang menculik anak-anak yang keluar rumah menjelang Mahgrib, atau terhadap pocong yang keluar di tengah malam.
Rasa takut yang ditanamkan sejak dini membungkam rasionalitas. Rasio manusia yang cenderung bertanya ”mengapa” dibelokkan oleh agama menjadi “boleh” atau “tidak.” Boleh atau tidak ini dalam soal anak-anak SD, bisa terungkap dalam pilihan: “benar” atau “salah”. Hal mengenai benar atau salah, itu bukan lagi hak rasio untuk menjawabnya, tetapi hak monopoli agama.
Lahirnya “Tuhan”
Secara singkat, konsep Tuhan atau yang Ilahi atau yang Maha muncul ketika manusia yang bertanya “mengapa” tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang melampaui keterbatasan rasionya. Filsafat Yunani klasik hingga kontemporer menceritakan perjalanan lahirnya konsep tentang tuhan. (Saya menulis demikian bukan berarti lahirnya konsep tuhan dimulai di Yunani; konsep ini ada di seluruh penjuru dunia dalam agama-agama kuno).
Mengambil sampel Filsafat Yunani Klasik, saya hendak mengatakan bahwa setiap orang perlu sejenak menanggalkan konsep yang disuntikkan oleh agama lalu mempertanyakan tentang Tuhan. Dengan sejenak mempertanyakan tentang Tuhan, kita mampu untuk mencicipi Tuhan yang lepas dari belenggu agama.
Sejenak Menjadi Atheis, Apa Salahnya?
Sejenak Menjadi Atheis, Apa Salahnya? Apakah Tuhan yang Maha Segalanya akan marah ketika kita hanya bertanya? Atheis di sini bukanlah tak bertuhan, tetapi diartikan sebagai sebuah sikap mempertanyakan Tuhan. Yang menjadi soal bukanlah apakah pantas bagi kita untuk mempertanyakan Tuhan, tapi dengan sikap apa – dan dengan alasan apa – kita mempertanyakan Dia. Pada dirinya sendiri bertanya kepada Tuhan tidaklah salah. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak tulus, atau pertanyaan-pertanyaan dari hati yang munafik adalah merupakan soal yang berbeda.
Sebenarnya, setiap orang yang “sejenak menjadi atheis” tersebut akan kembali mengenakan —apa yang disebut dengan— agama. Namun, agama yang dikenakan ini bisa jadi adalah agama yang berbeda dari sebelumnya. Agama yang dipilih adalah agama yang menyajikan konsep Tuhan yang sejalan dengan pengalaman rohani yang diperoleh dalam “retret” (kembali ke belakang, dalam arti ke proses “sejenak menjadi atheis”).
Pada akhirnya, Anselmus dari Canterbury mengatakan Fides Quarens Intellectum; Iman membutuhkan pemahaman. Perjalanan iman seperti perjalanan seorang peziarah. Setiap hari ada sesuatu yang baru dan berbeda. Paulo Coelho memperlihatkan dengan baik mengenai iman sebagai sebuah peziarahan. Singkat kata, seseorang tidak cukup mengenakan agama tetapi juga terus mendalami kedalamannya, kebenarannya, dan juga memancarkan wajah Tuhan yang telah ditemukannya dalam hidup sehari-hari.
Sejenak Menjadi “Atheis”, Apa Salahnya?
Reviewed by Afrianto Budi
on
Minggu, Juni 17, 2012
Rating:
Tidak ada komentar:
Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini