Hampir setiap pagi, kita akan banyak saksikan Ustad / penceramah di
televisi. Diantaranya adalah "Islam itu Indah" di TransTv dan "Dari hati
ke hati bersama Mamah Dedeh" di ANTV. Biasanya, penyelenggara
mendatangkan penonton dari berbagai kelompok pengajian. Mayoritas
pesertanya adalah kaum perempuan. Bisa dibayangkan bahwa secara
berbondong-bondong setelah Subuh mereka berangkat dari rumah mereka
masing-masing, lalu berkumpul di tempat tertentu dan kemudian berangkat
bersama-sama ke studio televisi. Dengan seragam hijab yang lengkap dan
kompak, mereka duduk untuk mendengarkan Ustad / penceramah, lalu
bersiap-siap untuk melontarkan pertanyaan yang mereka persiapkan di
rumah maupun yang mereka dapatkan waktu mendengar ceramah.
Daripada mendengarkan "Islam itu Indah" di TransTv, saya lebih suka mendengarkan Mamah Dedeh di ANTV. Praktis saja alasannya, karena tawa unik Mamah Dedeh. Di samping itu, Ibu yang bernama lengkap Dedeh Rosidah Syarifudin ini adalah lulusan Fakultas Tarbiyah Institut Ilmu Agama Islam Negeri atau yang sekarang menjadi Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Ciputat. Tentu sebagai pendengar kita boleh yakin bahwa ceramah dan petuah-petuah beliau punya landasan ilmu yang kokoh.
Dalam tulisan ini, bukan sosok Mamah Dedeh atau ulama semacamnya yang ingin saya dalami. Saya justru tertarik menanggapi penonton acara rohani islami tersebut. Bukannya bertanya mengenai isi Al-Quran, hadits, kitab kuning, atau ayat-ayat yang tidak mereka pahami kepada narasumber, mereka justru selalu bertanya tentang hal-hal praktis. Bahkan kebanyakan hanya membutuhkan jawaban singkat "BOLEH" atau "TIDAK BOLEH". Tak peduli jawaban Mamah Dedeh itu dapat dicari sumbernya di mana, pokoknya siap laksanakan.
Saya merasa bahwa ratusan bahkan mungkin ribuan (akumulasi) penonton "live" yang mengikuti acara tersebut mencitrakan sebagian besar masyarakat Indonesia. Melalui para pemimpin agama, agama mengatur, menginspirasi, dan bahkan -- secara ekstrim -- mendoktrinasi umatnya. Maka sebenarnya, presiden atau para tokoh-tokoh politik sebenarnya tidak memiliki kekuatan persuasi yang dapat mempengaruhi masyarakat. Kekuatan pemimpin negara adalah janji dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan. Asal perut rakyat kenyang maka pemerintah aman. Tapi, berhubung rakyat Indonesia sudah terbiasa dengan kemiskinan, suara pemimpin agama yang menjanjikan tentang surga lebih diminati. Maka sangat wajar kalau para teroris yang rela mati demi surga adalah kebanyakan dari golongan menengah ke bawah.
Mamah Dedeh adalah Citra Masyarakat Indonesia yang sangat mendengar apa kata pemimpin agama. Maka, di sinilah sebenarnya kunci sikap toleransi antar umat beragama bahkan kunci kemajuan bangsa Indonesia. Jika semua pemimpin agama menyerukan perdamaian kepada umatnya, maka umatnya pun akan membangun perdamaian. Kita bisa membandingkan NU dengan "ormas-ormas atas nama agama yang anarkis" di sini. Pemimpin NU yang sangat konsen dengan budaya dan toleransi sungguh dapat membawa teman-teman NU sangat toleran dengan budaya Indonesia dan pluralitas. Namun pemimpin "ormas-ormas atas nama agama yang anarkis" yang menyerukan jihad, perang, mati sahid, bunuh, kristen kafir, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan halal-haram, maka para anggotanya pun tanpa rasa berdosa memukul orang-orang yang tidak sealiran.
Pemimpin agama memegang peran sentral. Agar stabilitas nasional terjaga, negara harus memegang buntut para pemimpin agama. Bagaimana negara mendorong pemimpin agama untuk menciptakan masyarakat yang toleran tentu dengan memilih para pemimpin agama yang toleran pula.
Saya posting juga di http://filsuf-kampung.blogspot.com/
Daripada mendengarkan "Islam itu Indah" di TransTv, saya lebih suka mendengarkan Mamah Dedeh di ANTV. Praktis saja alasannya, karena tawa unik Mamah Dedeh. Di samping itu, Ibu yang bernama lengkap Dedeh Rosidah Syarifudin ini adalah lulusan Fakultas Tarbiyah Institut Ilmu Agama Islam Negeri atau yang sekarang menjadi Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Ciputat. Tentu sebagai pendengar kita boleh yakin bahwa ceramah dan petuah-petuah beliau punya landasan ilmu yang kokoh.
Dalam tulisan ini, bukan sosok Mamah Dedeh atau ulama semacamnya yang ingin saya dalami. Saya justru tertarik menanggapi penonton acara rohani islami tersebut. Bukannya bertanya mengenai isi Al-Quran, hadits, kitab kuning, atau ayat-ayat yang tidak mereka pahami kepada narasumber, mereka justru selalu bertanya tentang hal-hal praktis. Bahkan kebanyakan hanya membutuhkan jawaban singkat "BOLEH" atau "TIDAK BOLEH". Tak peduli jawaban Mamah Dedeh itu dapat dicari sumbernya di mana, pokoknya siap laksanakan.
“Mah bagaimana caranya membahagiakan suami?”Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Mamah Dedeh begitu praktis dan cukup dijawab dengan jawaban praktis. Praktis artinya ya sederhana, bagaimana saya harus hidup sesuai dengan ajaran agama. Apa kata penceramah atau ulama, itulah yang harus dilaksanakan. Dan memang, itulah yang mereka butuhkan.
“Membahagiakan suami banyak cara, misalnya memasak makanan yang disukai suami, menerima setiap rezeki yang diberikan suami tanpa komplen dan goyangannya di ranjang” kurang lebih itulah jawaban Mamah Dedeh.
Jawaban yang terakhir itu sempat di pertegas oleh Abdel. “Jadi selain makanan, kebutuhan seks suami juga harus dipenuhi ya mah?” “Betul, kebutuhan suami secara lahir dan batin harus dilayani istri agar suami semakin cinta. Kalau begitu suami pasti betah dan klepek-kelepek deh”
Saya merasa bahwa ratusan bahkan mungkin ribuan (akumulasi) penonton "live" yang mengikuti acara tersebut mencitrakan sebagian besar masyarakat Indonesia. Melalui para pemimpin agama, agama mengatur, menginspirasi, dan bahkan -- secara ekstrim -- mendoktrinasi umatnya. Maka sebenarnya, presiden atau para tokoh-tokoh politik sebenarnya tidak memiliki kekuatan persuasi yang dapat mempengaruhi masyarakat. Kekuatan pemimpin negara adalah janji dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan. Asal perut rakyat kenyang maka pemerintah aman. Tapi, berhubung rakyat Indonesia sudah terbiasa dengan kemiskinan, suara pemimpin agama yang menjanjikan tentang surga lebih diminati. Maka sangat wajar kalau para teroris yang rela mati demi surga adalah kebanyakan dari golongan menengah ke bawah.
Mamah Dedeh adalah Citra Masyarakat Indonesia yang sangat mendengar apa kata pemimpin agama. Maka, di sinilah sebenarnya kunci sikap toleransi antar umat beragama bahkan kunci kemajuan bangsa Indonesia. Jika semua pemimpin agama menyerukan perdamaian kepada umatnya, maka umatnya pun akan membangun perdamaian. Kita bisa membandingkan NU dengan "ormas-ormas atas nama agama yang anarkis" di sini. Pemimpin NU yang sangat konsen dengan budaya dan toleransi sungguh dapat membawa teman-teman NU sangat toleran dengan budaya Indonesia dan pluralitas. Namun pemimpin "ormas-ormas atas nama agama yang anarkis" yang menyerukan jihad, perang, mati sahid, bunuh, kristen kafir, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan halal-haram, maka para anggotanya pun tanpa rasa berdosa memukul orang-orang yang tidak sealiran.
Pemimpin agama memegang peran sentral. Agar stabilitas nasional terjaga, negara harus memegang buntut para pemimpin agama. Bagaimana negara mendorong pemimpin agama untuk menciptakan masyarakat yang toleran tentu dengan memilih para pemimpin agama yang toleran pula.
Saya posting juga di http://filsuf-kampung.blogspot.com/
Mamah Dedeh dan Citra Masyarakat Indonesia
Reviewed by Afrianto Budi
on
Jumat, Mei 18, 2012
Rating:
Tidak ada komentar:
Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini