banner image

Benarkah Wahabi Intoleran? 3

Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa Wahabi ialah nama sebuah sekte keagamaan yang bermula di Arab Saudi. Di kemudian hari sekte keagamaan tersebut bergabung dengan hasrat politik dari Raja Saud yang melahirkan negara Saudi seperti yang dikenal saat ini. Lalu bagaimana sekte Wahabi ini bisa masuk ke Indonesia?.
Gerakan Wahabi ditenggarai masuk ke Indonesia untuk pertama kalinya melalui para jemaah haji, dan konon pengaruhnya yang paling jelas adalah gerakan Kaum Paderi di beberapa daerah di Sumatera Barat dan sekitarnya yang mengadakan pembaruan pemikiran beragama. Karakteristik dakwah Wahabi yang berslogan “pembaharuan” dalam Islam dengan memberantas penyakit TBC telah memunculkan pelbagai ormas yang terinspirasi oleh gerakan “pembaharuan” Wahabi. Persis, Al-Irsyad, dan Muhammadiyyah adalah sebagian dari ormas tersebut. Walau nama yang terakhir (Muhammadiyyah) lebih cenderung moderat dan tidak tekstual seperti layaknya ormas yang lainnya. Namun tak dapat dipungkiri, bahwa pada awal kelahirannya, Muhamaddiyah terinspirasi oleh gerakan “pembaharuan” Wahabi.
Di hari kemudian, gerakan Salafi Wahabi berkembang ke luar Saudi karena dibawa oleh para sarjana lulusan sejumlah perguruan tinggi di Saudi, atau di negara lain yang mendapat bantuan finansial serta  tenaga pengajar dari pemerintah Saudi, seperti LIPIA (Lembaga Ilmu Pendidikan Islam dan Bahasa Arab), Jakarta, yang merupakan cabang dari Universitas Muhammad Ibnu Sa’ud, Riyadh, Saudi Arabia. Konon, seluruh biaya operasional peguruan tinggi negeri di Saudi, dan di luar negeri yang berafiliasi ke universitas negara petrodolar tersebut, disubsidi penuh 100 persen oleh negara.
Tercatat nama-nama alumni LIPIA angkatan 1980-an yang kini menjadi tokoh terkemuka di kalangan Salafi, di antaranya adalah Yazid Jawwas (aktif di Minhaj us-Sunnah di Bogor), Farid Okbah (direktur al-Irsyad), Ainul Harits (Yayasan Nida’ul Islam, Surabaya), Abubakar M. Altway (Yayasan al-Sofwah, Jakarta), Ja’far Umar Thalib (pimpinan Laskar Jihad, dan pendiri Forum Ahlussunnah Wal Jamaah) dan Yusuf Utsman Bais’a (direktur al-Irsyad Pesantren, Tangerang).
Adapun nama ketua FPI, Muhammad Rizieq Shihab, tercatat juga alumni LIPIA. Beliau, walaupun tidak menjadi Wahabi, dan bukanlah penganjur Wahabi tulen, tampaknya telah mengadopsi mentalitas Wahabisme Saudi dari tempatnya belajar, dan Universitas Ibnu Sa’ud di Riyadh. Jika kolega-kolega Wahabinya mengambil bentuk permusuhan terhadap musuh-musuh alamiah Wahabi, maka Rizieq Shihab menampilkan model Islam konfrontatifnya terhadap apa yang ia pandang maksiat atau kesesatan.
Di Indonesia, para alumnus yang berfaham Wahabi mengembangkan modus dakwah mereka dengan berbasis pesantren. Oleh karenanya, gerakan Wahabi di Indonesia umumnya bertabrakan langsung dengan konstituen Nahdlatul Ulama (NU), yang juga berbasis massa pesantren. Tabrakan ini juga disebabkan faktor lain, dan yang paling sering terdengar ialah pengistilahan NU sebagai biang bid’ah. Tak pelak bentrokan antara Wahabi dengan NU-pun kerap terjadi di Indonesia. Seperti isu perebutan masjid warga NU oleh Wahabi, atau yang terbaru ialah bentrok di Jember, seperti yang telah ditulis oleh Kompasioner Black Horse.
Selain NU, kelompok Ahmadiyah dan Syiah yang menjadi musuh besar mereka. Mengenai Ahmadiyyah, saya kira tak perlu dibahas lagi. Kemudian, mengenai Syiah jelas ada dendam yang telah ratusan tahun terjaga dengan baik antara kedua kelompok tersebut. Pengrusakan yang dilakukan oleh Wahabi terhadap situs2 yang dianggap suci oleh Syiah ditenggarai menjadi awal dari perseteruan kedua kelompok besar dalam Islam. Belum lagi pelbagai tradisi kaum muslim Syiah, yang dianggap berbau musyrik dan bid’ah, sangat bertentangan dengan misi “pembaharuan” agama.

 Ditulis oleh: Dewa Gilang
Sumber: klik
Benarkah Wahabi Intoleran? 3 Benarkah Wahabi Intoleran? 3 Reviewed by Afrianto Budi on Selasa, Juni 05, 2012 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini

Diberdayakan oleh Blogger.