Lima belas menit pertama video itu penuh berisi sejarah bentrok antara kelompok Islam garis keras dan aparat keamanan di Tanah air. Dimulai dari penyerbuan tentara ke kelompok pengajian garis keras pimpinan Warsidi di Talangsari, Lampung, 1989, kasus Tanjung Priok, konflik di ambon, sampai aksi polisi memberangus kelompok militan yang berbasis di Pesantren Tanah runtuh di Poso, Sulawesi Tengah, tiga tahun lalu. Tubuh-tubuh yang terkoyak senjata, wajah-wajah babak-belur, dan isak tangis sengaja diberi fokus dan diulangulang. Dalam video itu, Indonesia tampak mirip afganistan. Pada menit ke-20, muncul inset gambar dari khotbah abdullah Yusuf azzam, teolog Palestina yang pertama kali mengobarkan jihad di afganistan. azzam disebut-sebut sebagai mentor Usamah bin Ladin, pemimpin al-Qaidah asal arab Saudi. Teks terjemahan Indonesia dari khotbah azzam muncul di bagian bawah gambar. ”Tak ada alasan untuk tidak berjihad,” kata azzam dalam video itu. Setelah azzam, gambar lalu pindah ke suasana kamp latihan militer—biasa disebut tadrib dalam konsep Jamaah Islamiyah—di sebuah perbukitan. Petunjuk peta di awal adegan ini memastikan lokasi kamp ada di Nanggroe aceh Darussalam. Sekitar 30 pemuda tampak berlatih baris-berbaris, lompat halang rintang, sampai menembak. ratarata berpakaian hitam-hitam, dengan perlengkapan seadanya. Badannya kurus dan kecil-kecil, tak tampak seperti tentara. Setelah latihan, mereka bergerombol makan bersama: dua sampai tiga orang berbagi nasi dari satu piring plastik. Beberapa makan langsung dari wajan. Lauknya satu-dua potong ikan asin sebesar ujung jempol. Sesekali terdengar teriakan nyaring, ”Masya allah, enak sekali makanan ini.” adegan berikutnya adalah khotbah pentolan kamp pelatihan. Duduk bersila di bawah tenda terpal hijau, tangan kiri si pengkhotbah memegang erat sepucuk senapan aK-47. Di belakang, satu pengikut membentangkan bendera hitam bertulisan kalimat syahadat dalam aksara arab. Sang tokoh dengan berapi-api bercerita nikmatnya menjadi mujahidin. ”Di sini tak ada televisi yang merusak akhlak, tidak ada musik, tidak ada aurat untuk dipandangi,” katanya. Sesekali nada suara meninggi, seperti menjerit. ”ayo ikhwan, tunggu apa lagi? ayo bergabung, jangan berjihad dengan sarung dan peci.” Memasuki dua menit terakhir, barulah suara si orator merendah. ”Di sini kami makan kepala ikan asin, yang biasa kalian berikan kepada kucing dan ayam. Di sini kecap sangat berharga. agar tak berat kami makan nasi yang keras...,” katanya mengiba. Video itu lalu ditutup dengan tulisan besar: ”Mendukung, membantu, mendoakan, infaq fi sabillilah… adalah keharusan yang tidak ada udzur ketika jihad hukumnya fardhu'ain.” akhir Februari lalu, Detasemen Khusus 88 Mabes Polri menggerebek kamp pelatihan di Bukit Jalin, Kecamatan Jantho, aceh Besar, itu. Lebih dari 30 peserta pelatihan ditangkap, dan empat pelatihnya ditembak mati. Dari penyerbuan itu, polisi menyita sejumlah dokumen, kamera, laptop, dan belasan pucuk senjata api. Sepekan setelah itu, sebuah pesan muncul di satu situs Internet milik kelompok militan. Isinya singkat, cuma dua paragraf. Siaran pers itu diawali penjelasan: ”Kami, Tanzim al-Qaidah Indonesia Wilayah Serambi Mekah ... sampai hari ke-10 pengejaran thagut, kami dapat bertahan melanjutkan jihad meskipun sebagian saudara kami ada yang tertawan dan syahid.” Nama kelompok ini belum pernah terdengar. Dari sejumlah peserta tadrib yang buka mulut, jejak jejaring kelompok ini diendus sampai Jakarta. awal Maret lalu, polisi menyerbu dan menembak mati seorang pria berjenggot di warung Internet Multiplus di Pamulang, Banten. Belakangan ketahuan pria itu adalah Dulmatin, buron polisi nomor wahid setelah bom Bali pertama 2002. Yang belum jelas betul adalah bagaimana kelompok baru ini terbentuk. Sumber |
Bukan Teror Sarung dan Peci
Reviewed by Afrianto Budi
on
Kamis, Juni 07, 2012
Rating:
Tidak ada komentar:
Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini