banner image

David Hume: Bangun dari Tidur Dogmatis

“In order to answer the doubts started, new principles of philosophy must be laid;
Are not the doubts themselves very useful?
Are they not preferable to blind and ignorant assent?
I hope I can answer my own doubts.
But if I could not, is it to be wondered at?”
( David Hume kepada Gilbert Elliot of Minto, Maret 1751)
[2].
Selayang Pandang
Tidak dapat dipungkiri bahwa zaman ini telah menobatkan David Hume(1711-1776) sebagai salah satu filsuf agung. Filsafatnya telah dan terus memancing respon selama lebih dari 250 tahun, dan kebanyakan respon ini bersifat negative. Didasarkan pada pemahaman bahwa filsafat Hume pada dirinya sendiri adalah negative, sebuah penyangkalan skeptis secara dogmatis terhadap pengetahuan manusia akan kebenaran dan nilai , tentu saja penilaian ini sekilas tampak berat sebelah karena skeptisme yang dibangun oleh Hume tak hanya secara fundamental skeptis belaka namun dengan sadar juga membangun posisi filosofis yang secara fundamental konstuktif[3]. Dengan mengartikulasikan pengetahuan baru mengenai kodrat manusia yang menjadi pendasaran unik dan kukuh bagi semua ilmu pengetahuan termasuk moral dan politik[4].

Musafir Intelektual
Hume dilahirkan di Edinburgh pada tahun 1711, keluarganya menginginkan dia untuk menjadi seorang pengacara, tapi Hume muda mengungkapkan bahwa ia didominasi pada sebuah hasrat akan literatur dan merasakan “an insurmountable aversion to everything but the pursuit the philosophy and general learning[5]. Sedikit yang diketahui tentang masa kecilnya. Ayahnya meninggal ketika Hume baru berusia 2 tahun, dan pendidikan awalnya menjadi tanggung jawab sang Ibu yang melaporkan bahwa Hume muda lemah pikiran dan hal ini dikonfirmasi oleh semua yang mengenal Hume muda. Tapi Hume selalu menganggap bahwa dirinyalah yang terpandai diantara teman-temannya dan selalu tertarik untuk menulis yang berujung pada publikasi. Hasilnya, pada usia 27 tahun, Hume telah menghasilkan volume pertama dari 2 bukunya yang terkenal “ A Treatise of Human Nature”.[6]
Pada tahun 1723 Hume pergi ke Universitas Edinburgh pada usia 11 tahun untuk belajar hukum, tetapi Ia lebih senang filsafat. Sayang kondisi ekonomi keluarganya kurang memungkinkannya untuk meneruskan studi sehingga Ia sempat dikirim ke Bristol untuk berbisnis namun gagal. Akhirnya Ia pergi ke Prancis untuknya Ia pergi ke Prancis unutk mengabdikan dirinya pada karya-karya tulis dan membuat...............yang konsisten sebagai kompensasi atas nasibnya yang kurang beruntung[7]. Disanalah pada tahun 1734-1737 Ia menerbitkan A Treatise of Human Nature yang pertama diterbitkan dalam 3 bagian.
Dalam karyanya yang pada saat itu tidak mendapat apresiasi publik, Hume mencoba menggandeng serta, dalam caranya , analisa tentang pengalaman manusia yang telah dibuat oleh Locke sebelumnya dalam “Essay”nya. Hume menarik cita rasa empirisme hingga pada kutub ekstremnya dan serta merta menyetujui pemikiran Barkeley bahwa benda sebagai sesuatu yang mendasari sensasi sebagai inferensi yang tak dapat dibenarkan, Ia menarik kesimpulan yang sama untuk............[8]. Sekembalinya dari Prancis pada tahun 1737 Ia tinggal bersama Ibunya dan saudaranya. Pada 1741-1742 Ia menerbitkan” Essays, March and Political” yang sukses dan mendorongnya kembali memulai Treatise dengan wajah baru dengan harapan akan diterima publik[9].
Pada tahun 1744 Ia ditolak sebagai profesor di universitas Edinburgh karena dianggap Atheis dan terlalu liberal[10]. Ia kembali berkelana sebagai tutor private selama setahun dan kemudian pergi ke Luar negeri sebagai sekretaris bagi Jenderal St. Clair hingga 1748. Pada tahun 1748 bagian pertama Treatise muncul dibawah judul Philosophical Essays Concerning Human Understanding. Pada 1751, Hume memulai edisi keduanya dibawah judul An Enquiry Concerning Human Understanding. Di tahun yang sama ia juga menerbitkan tulisannya The Principles of Morals dan pada tahun 1752 ia mengeluarkan pula buku Political Discourses yang membuat reputasinya kian ternama[11].
Pada tahun-tahun berikutnya, ia menulis antara lain: Dialogues Concerning Natural Religion, The Natural History of Religion (1757) dan 6 volume History of England yang muncul antara 1754 dan 1762. Pada tahun 1763 Ia diangkat menjadi sekretaris duta besar Inggris di Prancis; tempat di mana ia sukses besar secara sosial[12]. Di Paris, Hume bersentuhan dengan para Filsuf Prancis yang berkaitan dengan aliran “Encyclopaedia”. Beberapa tokoh terkenal yang sempat menjalin kontak dengannya, antara lain: Adam Smith, D’Alembert, dan Diderot[13]. Ia memegang jabatan Inter-secretary dalam waktu singkat sebelum pensiun ke Edinburgh pada tahun 1769. Di sana Hume tua terus menulis Dialogues yang akan diterbitkan setelah kematiannya pada tahun1779. Sahabatnya, Adam Smith mengunjunginya beberapa hari sebelum kematiannya dan memberi kesan bahwa walau Hume berada dalam kondisi sakit parah, ia tetap ceria dan penuh dengan semangat hidup sehingga Smith sendiri tak dapat tahan untuk menghibur, walau beberapa harapan pudar bagi kesembuhan temannya.
Musafir intelektual itu wafat tahun 1779 tanpa meninggalkan istri dan anak walau sepanjang hidup lajangnya ia mengenal banyak sekali wanita. Hume telah meninggalkan karya-karya besar yang akan merobohkan pengandaian-pengandaian akal sehat yang diperlukan orang untuk menyelami kehidupan sehari-hari.

2. Batas-Batas Mengetahui
"If we believe that fire warms, or water refreshes,
‘tis only because it costs us too much pains
to think otherwise."
(David Hume, A Treatise of Human Nature)

Ketika rentang zaman modern mulai mengusik nalar dan cara mengetahui yang sampai saat itu dianggap sahih begitu saja, Locke dan Berekeley telah menunjukkan adanya batas-batas akal budi. Manusia tidak dapat dengan pasti mengetahui apa yang semula dianggapnya diketahui begitu saja. Berkeley yang begitu jauh berfilsafat menghapus substansi materi sementara David Hume lebih jauh lagi hingga bahkan mencoret akal budi.[14]

2.1. ‘Spesies ketiga’ dari filsafat
Elemen utama yang membangun filsafat Hume, dalam cita rasa yang paling literal, adalah obyek pikiran yang terlebih dahulu dan relasi antara obyek-obyek ini dalam ‘dunia mental’.[15] Sama seperti semua filsuf empirisme lainnya, Hume menolak pandangan bahwa mansuia mempunyai pandangan-pandangan bawaan. Bagi Hume, kesadaran kita berasal dari pengalaman.[16] Seluruh isi pikiran kita ditarik dari pengalaman dan ia menggunakan kata ‘persepsi’ untuk merujuk hal tersebut secara umum. Persepsi ini kemudian dapat dibagi menjadi ‘impresi’ (kesan) dan ‘ide’; di mana yang pertama adalah data yang langsung diketahui dari pengalaman dan yang kedua adalah copy atau gambaran buram kesan-kesan dalam berpikir dan bernalar, sehingga ide kurang jelas dan hidup bila dibandingkan dengan ‘kesan’.[17] Secara lebih mendetail, Hume juga menegaskan dua sub-kelas dari impresi, yaitu: impresi dari sensasi (impressions of sensation) dan impresi dari refleksi (mpressions of reflection). Impresi dari sensasi, menurut Hume, “arise in the soul originally, from unknown causes” dan impresi dari refleksi, “derived in a great measure from our ideas”.[18]

Hume menjelaskan perbedaan antara impressions dengan ideas sebagai berikut:
All the perceptions of the human mind resolve themselves into two distinct kinds, which I shall call Impressions and Ideas. The difference betwixt these consists in the degrees of force and liveliness with which they strike upon the mind and make their way into our thoughts or conciousness. Those perceptions which enter with the most force and violance we may name impressions; and under this name I comprehend all our sensations, passions, and emotions, as they make their first appereances in the soul. By Ideas I mean the faint images of these in thinking and reasoning; such as, for instance, are all the perceptions excited by the present discourse, excepting only those which arise from the sight and touch, and excepting the immediate pleasure or uneasiness it may occasion.” [19]

Korespondensi antara impresi dan ide memang menjadi salah satu topik yang layak dibahas. Hume mengemukakan pada awalnya bahwa “ide dan impresi yang muncul selalu berkorespondensi satu sama lain”. Apakah memang ide dan impresi selalu saling ber-korespondensi satu sama lain? Misalkan saja, kita berdiri di atas bukit Montmartre dan mengamati kota Paris dari sana. Kita akan menerima impresi kompleks dari kota itu, dari jalan-jalan, dari menara-menara, gedung-gedung gereja dan setelahnya – saat kita mengingat kembali gambaran kota Paris – kita juga memiliki ide kompleks tentangnya walau tak cukup kuat gambarannya bila dibandingkan dengan impresi. Tetapi, bila kita mengambil contoh lainnya, seperti saat kita mampu membayangkan sebuah kota seperti ‘Yerusalem Baru’ dalam kitab Wahyu, yang jalan-jalanya disepuh emas, dindingnya bertahtakan batu zamrud dan permata sementara kita sama sekali tak pernah melihat hal seperti itu. Bukankah dalam hal ini ide kompleks kita tidak berkorespondensi dengan impresi kompleks kita?[20] Janganlah kita cepat memberikan justifikasi atas hal ini karena ide kompleks sekalipun dapat dipecahkan menjadi ide-ide sederhana yang bersentuhan dengan impresi sederhana (baca: tunggal).
Hume membagi persepsi menjadi dua, yaitu: persepsi tunggal dan persepsi kompleks. Persepsi tunggal dibangun dari impresi tunggal dan persepsi kompleks adalah penggabungan dari ragam impresi tunggal.[21] Contohnya, persepsi kita mengenai warna hitam didasarkan pada impresi tunggal dan ketika kita memikirkan kembali warna hitam itu, lahirlah ide tunggal mengenai ‘hitam’. Sementara, ketika kita melihat batu yang berwarna hitam secara keseluruhan, pada saat itu tergabunglah impresi tentang ‘batu’, ‘kasar’, ‘hitam’, dan ‘keras’ serta dapat pula menghasilkan ide kompleks tentang ‘batu’.
Impresi pada umumnya mendahului ide.[22] Misalnya untuk memberikan ide mengenai warna biru, si anak ditunjukan bola berwarna biru, namun Hume mengajukan pengecualian terhadap aturan umum bahwa ide ditarik dari impresi. Misalnya , seseorang tahu mengenai bermacam-macam warna biru dari yang paling gelap sampai pada yang paling terang. Kalau dalam urut-urutan itu ada yang kosong, maka tetap dimungkinkan orang tersebut melengkapi warna yang kosong didalam idenya meskipun belum pernah melihatnya. Ia juga menambahkan bahwa ada kemungkinan membentuk ide dari ide. Menurut Hume kita dapat berbicara dan bernalar mengenai ide yang merupakan ide dari impresi, kita dapat membentuk ide taraf kedua yang ditarik langsung dari ide sebelumnya, maka ide pertama selalu mendahului ide mengenainya.[23]
Karena ide-ide terutama ditarik dari impresi, maka pengetahuan kita terbatas. Imajinasi kita mungkin tanpa batas, tetapi bahkan sesuatu yang sehebat centaur ( mahluk dengan badan dan dengan kaki kuda dengan kepala , dada, dan tangan manusia) tidak lebih dari suatu kombinasi dari impresi manusia dan kuda. Dengan begitu, seluruh kemampuan kreatif budi ini tidak lebih dari kemampuan untuk memindah menambah atau mengurangi bahan-bahan yang sampai kepada kita melalui indera dan pengalaman.[24]

Pada titik inilah Hume dapat dikatakan sebagai seorang filsuf yang membawa emprisme sampai pada puncaknya. Ia berpendapat dengan demikian radikalnya bahwa karena pengetahuan berasal dari pengalaman, maka pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.[25] Pada gilirannya, ia mengecam metafisika dan teologi yang menjadi tiang utama pemikiran sebagian besar orang pada zamannya karena tak memiliki pendasaran ilmiah yang empiris. Ia menilai bahwa metafisika, “isn't merely obscure; it is also the inevitable source of uncertainty and error.” Karena itu, “the justest and most plausible objection against a considerable part of metaphysics, that they are not properly a science.” Teori-teori metafisika “arise either from the fruitless efforts of human vanity, which would penetrate into subjects utterly inaccessible to the understanding, or from the craft of popular superstitions, which, being unable to defend themselves on fair ground, raise these entangling branches to cover and protect their weakness”[26] Dalam semua ketegangan yang dihasilkan oleh pemikiran Hume, banyak ahli kemudian melihat bahwa Hume telah melahirkan ‘spesies ketiga’ filsafat setelah spesies pertamanya yang berkutat pada tindakan aktif manusia dan spesies kedua yang menggeliat pada tataran manusia sebagai makhluk rasional.[27] Spesies ketiga yang berinduk pada Hume telah menyangkal hipotesa yang lekat pada sistem ‘pencarian’ dalam metafisika yang mendasari kedua spesies sebelumnya.

2.2. “I”: a bundle of perceptions
Pisau radikalitas yang sama juga digunakan oleh hume dalam kritiknya atas ‘substansi’ dan ‘kesadaran diri’. Bila dalam rasionalisme diyakini adanya substansi material di luar diri kita, maka Hume menganggap bahwa yang dapat diketahui oleh pikiran adalah persespi dan bukan objek-objek di luar diri kita. Kita tidak pernah mengetahui bagaimana kaitan antara persepsi dan objek-objek di luar diri kita karena bukti empiris untuk hal itu belum ditemukan.[28] Karenanya, ia menolak substansi yang diyakini ada dan melekat dalam diri manusia. Menurut Hume, sang “Aku” – terminologi yang ia pakai untuk menyebut subjek manusia – bukanlah substansi, melainkan serangkaian atau sekumpulan kesan yang datang silih berganti dan terus menerus. Konsekuensinya, “Aku” bukanlah subjek yang berdiri pada dirinya sendiri, namun selalu melekat pada pengalaman “Aku yang sakit”, “Aku yang marah” atau “Aku yang kedinginan”.[29] Baginya, “Aku” adalah “serangkaian kesan” – “a bundle of perceptions”.[30]

Ketika pengalaman ini hadir dalam sekuensi yang terus menerus, muncullah kesan bahwa ada kesatuan ciri yang ada bersama-sama senantiasa dan menjadi dasar tetap yang disebut ‘substansi’. Padahal, Hume menegaskan kalau saja ragam persepsi itu disingkirkan, kita akan segera kehilangan ‘diriku’. Misalnya, sewaktu tidur, menurut Hume, ‘diriku’ itu tidak ada.[31] Semua kesan yang ditimbulkan ini hanya ‘kepercayaan’ saja dan bukan ‘kenyataan’ (matter of fact) yang sejati. Dengan cukup berani Hume menstigmasi ‘substansi’ itu sebagai fiksi belaka yang ‘dibutuhkan demi rekonsiliasi bagi kontradiksi imajinasi-imajinasi yang sangat cocok untuk meniru sesuatu yang tak diketahui dan tak kelihatan, yang mengandaikan sebuah kelanjutan dari kesamaan di bawah segala variasi yang sada; dan sesuatu yang tak dapat dipikirkan ini disebut sebagai substansi, atau materia asli dan pertama.’[32]

2.3. Mitos kausalitas: Propter hoc lawan post hoc
Skeptisisme di atas juga berlaku sama bagi prinsip kausalitas yang ramai menjadi pembicaraan di periode abad tengah baik dalam tataran falsafi hingga agama. Terutama agama meyakini bahwa prinsip kausalitas niscaya akan mengantar manusia pada sebuah kenyataan ultim yang disebut Allah atau Tuhan.[33] Hubungan kausalitas mengandaikan suatu gejala tertentu yang lalu disusul dengan gejala yang lain, dan pada titik itu kita berpikir bahwa gejala yang terakhir disebabkan oleh gejala yang pertama. Misalnya, air dingin yang dipanaskan oleh api lama-kelamaan akan mendidih. Ketika Hume mengusik kausalitas sebagai sesuatu yang bukan niscaya, ia kembali mengangkat soal lama yang telah dipikirkan sejak zaman Sextus Empiricus pada abad kedua Masehi. Sebagai isme, empirisme tak dapat menemukan hubungan antara satu fenomena dan fenomena lainnya.[34]

Dengan teguh Hume menentang hubungan kausal tersebut. Ia berujar dalam Enquiry Concerning Human Understanding:
"I shall venture to affirm, as a general proposition, which admits of no exception, that the knowledge of this relation is not, in any instance, attained by reasoning a priori; but arises entirely from experience, when we find that any particular objects are constantly conjoined with each other." (Hume. ECHU, 1975: 26-27) - ‘Saya akan menegaskan, sebagai prososisi umum, yang tanpa ada pengecualian, bahwa pengetahuan tentang relasi ini bukan diperoleh dengan berfikir a priori; namun secara keseluruhan muncul dari pengalaman, ketika kita menemukan bahwa objek-objek tertentu secara konstan bergabung satu sama lain.’[35]
Menurutnya, pikiran kita sama sekali tidak dapat mengetahui apa penyebab sensasi (inderawi) karena ia sendiri tak dapat mengalami ‘penyebab-penyebab’ sebagai sebuah sensasi. Persepsi kita hanya menangkap kesan-kesan sederhana, femomena yang ter-atom-isasikan, dan kausalitas per se bukanlah salah satu dari impresi sederhana itu.[36] Hubungan kausal selama ini dianggap ada karena ‘kepercayaan’ (animal faith) belaka dan diturunkan dari sebuah ‘asosiasi ide’ yang ada dalam kesadaran kita.[37] Albert E. Avey menulis bahwa dengan mengurai ‘asosiasi ide’ sebagai prinsip utama dalam menjelaskan ‘mitos kausalitas’, “Hume revived the laws – suggested by Aristotle – of assosiation by similarity and by contiguity.”[38]

Jika kita pada suatu kesempatan mengamati dua atau lebih obyek di luar kita , kita tidak bisa mengamati secara langsung “daya aktif” yang diumpamakan menghubungkan dua hal secara kausal. Kita bisa melihat dari contoh air mendidih diatas, asosiasi kita adalah bahwa api menghubungkan air dingin dengan air mendidih, padahal hubungan kausal yang dianggap ada itu hanyalah pengulangan berkali-kali pengalaman serupa atau kebiasaan (custom).[39] Bagi Hume, custom ini nyatanya memiliki ‘kepentingan dan otoritas’ yang sama dengan ‘nalar’ bila manusia sedang menangkap demonstrasi inferensi tertentu hingga hanya ‘hubungan kausalitas’ inilah yang mampu membentuk sebuah kepercayaan baru.[40]

Dalam kasus api menyala, menyentuh kertas, dan kertas terbakar tak bisa disimpulkan bahwa api menyebabkan kertas terbakar (baca: propter hoc), sebab yang kita ketahui hanyalah bahwa kertas terbakar sesudah api menyentuhnya (baca: post hoc).[41] Jadi, yang dapat kita lihat hanyalah bahwa gejala yang satu menyusul gejala yang lain dan bahwa hubungan antara keduanya lebih merupakan sekuensi bukan konsekuensi (baca: kausalitas).

2.4. Angsa hitam bernama ‘induksi’
Dengan menyerang konsep kausalitas, Hume secara langsung juga melontarkan keberatannya atas metode induksi yang bertugas mengambil kesimpulan universal dari pengamatan dan gejala yang bersifat partikular. Meski memiliki kelemahan dibanding deduksi, induksi sungguh menggoda karena kemampuannya mereduksi kejadian-kejadian individual menjadi generalisasi tunggal sehingga menghemat kapasitas penyimpanan di otak. Namun induksi mengandung bahaya tersembunyi, karena keterbatasan kemampuan kognitif manusia, kita sering menganggap kesimpulan dari hasil induksi sebagai hasil dari deduksi. Sikap rasialisme, praduga, atau takhayul sering berakar dari kerancuan ini.
Penemuan ‘angsa hitam’ menjadi contoh yang baik untuk menunjukkan kelemahan induksi. Sebelum abad ke-17, orang-orang Eropa hanya pernah melihat angsa berwarna putih. Sebab itu, mereka percaya bila semua angsa harus berwarna putih. Kesimpulan induksi bahkan sempat menjadi premis untuk kesimpulan deduksi, sampai seorang penjelajah Belanda, Vlaming menemukan spesies angsa hitam, cygnus atratus, di Australia Barat pada tahun 1697. Hume memakai penemuan ‘angsa hitam’ ini untuk menjelaskan sikap skeptisnya terhadap kebenaran absolut, “No amount of observations of white swans can allow the inference that all swans are white, but the observations of a single black swan is sufficient to refute that conclusion.”[42]
Lebih jauh kemudian, Itpin, seorang penulis aktif dalam kajian filsafat, menulis lebih jauh tentang radikalitas Hume yang bahkan menggoyangkan sendi-sendi deduksi:
Bagi seorang skeptis tulen seperti Hume, di dunia ini tidak ada kebenaran mutlak, meski yang diperoleh dari metode deduksi sekalipun. Menurut Hume, semua deduksi sebenarnya adalah induksi yang belum menemukan ‘angsa hitam’nya. Bahkan premis yang selama ini diterima sebagai kebenaran, seperti “Semua manusia pasti akan mati” bisa saja terbukti salah. Siapa yang bisa memastikan tidak ada manusia-manusia baka seperti dalam kisah Highlander yang hidup di antara kita? Walau peradaban manusia sudah melahirkan puluhan milyar anak manusia, cukup satu orang manusia baka saja yang dibutuhkan untuk membalikkan kebenaran premis bersangkutan.[43]

3. Peziarahan Ilmu yang Kontingen
“We never remarks any passion or principle in others,
of which, in some degree or other,
we may not find a parrarel in ourselves.”
(David Hume, A Treatise of Human Nature)

3.1. Yang bertekuk di hadapan ‘kodrat manusia’ (?)
Hume dengan tajam mengkonfrontasikan ‘sains baru’ dalam pemikirannya dengan atmosfer ilmu pengetahuan yang mengandung ‘sistem-sistem yang tak berdasar, hipotesis yang hanya kelihatannya saja benar namun salah dan berdasar persetujuan belaka, serta banyaknya imajinasi yang hangat dari para filsuf.’[44] Andrew Roberts dari Middlesex University menulis:
“He (Hume) is radical when he is arguing his epistemology, in the sense that he destroys our confidence in all that we take for granted. He leaves us wondering if there is anything we can reliably believe. Radical doubt, like that, is according to Hume, important for the advancement of science.”[45]

Pemikiran Hume yang radikal telah mengguncang sendi-sendi sains pada zamannya dan berimbas lebih jauh lagi ketika Hume melontarkan gagasannya untuk memakai metode ilmiah ‘eksperimental’ Newtonian untuk dapat menciptakan metode yang rigoris pada sains manusia sebagaimana terjadi dalam sains alam.[46] Manusia mendapat tempat khusus dalam pemikiran David Hume. Sejak semula Hume telah bermaksud ‘to create a comprehensive "science of man" in order to understand human nature and human actions. He saw a constant social and political tension between liberty and authority, and he developed extensive political and economic theories to describe this conflict.”[47]

Maka, kodrat manusia dan pengetahuan pada dasarnya berkaitan sangat erat satu sama lain dan hal ini tampak nyata dalam logika, moral, estetika, dan politik. Logika berurusan dengan prinsip-prinsip dan kerja fakultas penalaran manusia dan dengan ide-ide kodrat kita. Moral dan estetika memperhatikan soal rasa dan perasaan kita. Politik berhubungan dengan persekutuan manusia dalam masyarakat. Menurut Hume, kodrat manusia merupakan pusat dari semua sains. Untuk mengembangkan suatu sains mengenai manusia caranya adalah dengan metode eksperimental.

Hume pada dasarnya ingin meghasilkan sebuah filsafat ‘sekular’ yang dibangun dalam tradisi Newton, Shaftesbury, Mandeville, Hutcheson, dan Butler. Sebagai seorang skeptik, Hume tidak pernah kehilangan gambaran fakta bahwa ‘kodrat’ pada dirinya sendiri hanyalah mungkin terjamah melalui hidup dan pengalaman manusia, dan hal ini tetap tinggal sebagai sesuatu yang sama-sama meragukan seperti pertanyaan: ‘apakah pengalaman manusia sungguh-sungguh mampu untuk menghasilkan pengetahuan.[48]

3.2. Menelisik nalar manusia
Ketika kodrat manusia menjadi salah satu tempak berpijak Hume untuk mengerti sains sosial dalam kerangka eksperimental, ia mengajukan pemikiran bahwa ‘seluruh obyek dari nalar manusia atau penelusurannya dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu: relasi antar ide (realtions of ideas) dan masalah fakta (matters of fact).[49] Jenis pertama merujuk pada ilmu-ilmu geometri, aljabar, dan aritmatika, dan ringkasnya, hadir dalam setiap afirmasi baik pasti baik secara intuitif maupun demonstratif. Kelompok kedua adalah objek nalar yang tidak dapat dipastikan kebenarannya, misalnya matahari akan terbit besok pagi.

Hubungan filosofis dapat dibagi menjadi hubungan tetap dan hubungan tidak tetap. Hubungan tetap tidak diubah tampa perubahan di dalam objeknya atau didalam ide mengenainya. Kalau hubungan antar ide tidak berubah maka hubungan antar objeknya tidak berubah. Misalnya hubungan matematik, sedangkan hubungan tidak tetap dapat berubah tanpa perubahan di dalam objek atau ide yang secara niscaya terdapat di dalamnya, sehingga tidak ada pengetahuan yang pasti mengenai hubungan tidak tetap kalau hanya didasarkan pada hubungan analisis ide dan demonstrasi a priori. Dalam hal ini kita tergantung pada pengalaman observasi, meskipun sering melibatkan proses penyimpulan. Pada titik inilah kita berurusan dengan kenyataan faktual, sementara kenyataan faktual itu tidak mengandung kepastian di dalamnya sebagaimana hubungan antar ide.

Pernyataan-pernyataan mengenai hubungan antar ide umumnya disebut sebagai ‘pernyataan analitik’. Sedangkan pernyataan mengenai kenyataan faktual disebut ‘pernyataan sintetik’. Yang termasuk pernyataan analitik adalah semua pernyataan a priori, sebab kebenarannya dapat diketahui lepas dari pengalaman dan observasi serta kebalikannya bersifat kontradiktif. Kebenaran pernyataan analitik hanya tergantung pada arti dari simbol- simbolnya.

4. Agama yang Bersimbah Tulah
“Generally speaking, the errors in religion are dangerous;
Those in philosophy only ridiculous”
(David Hume, A Treatise of Human Nature)

4.1. Allah: antara ada dan tiada
Pada tahun 1500-1700, di Eropa terjadi perang yang sebagian atau juga seluruhnya dilatar-belakangi oleh kepercayaan agama, hal ini menyebabkan Hume bersikap skeptis terhadap agama Baginya agama merupakan suatu gejala eksternal yang tidak diminatinya walau dalam beberapa kesempatan ia tertarik juga untuk membicarakannya. William Edward Morris, seorang filsuf dari Stanford University menulis:
The Natural History of Religion is also a history in a sense, though it has been described as “philosophical” or “conjectural” history. It is an account of the origins and development of religious beliefs, with the thinly-disguised agenda of making clear not only the nonrational origins of religion, but also of exposing and describing the pathology of its current forms. Religion began in the postulation, by primitive peoples, of “invisible intelligences” to account for frightening, uncontrollable natural phenomena, such as disease and earthquakes. In its original forms, it was polytheistic, which Hume regards as relatively harmless because of its tolerance of diversity. But polytheism eventually gives way to monotheism, when the followers of one deity hold sway over the others. Monotheism is dogmatic and intolerant; worse, it gives rise to theological systems which spread absurdity and intolerance, but which use reason to corrupt philosophical thought. But since religion is not universal in the way that our nonrational beliefs in causation or physical objects are, perhaps it can eventually be dislodged from human thinking altogether.[50]
Hume menolak paham ‘deisme’ yang sangat berkembang pada zaman pencerahan. Deisme mengajarkan bahwa Allah menciptakan jagad raya ini dengan sempurna dan membiarkannya berkembang menurut prinsip mekanistis. Hal ini mengandaikan adanya suatu prinsip kausalitas dan tentu saja Hume menolaknya. Menurut Hume, bagaimana mungkin jagad raya yang diciptakan ini dapat menjadi begitu sempurna sementara ada begitu banyak bukti kejahatan dan keburukan. Apakah itu juga berarti bahwa Allah juga menciptakan kejahatan dan juga keburukan tersebut?[51]

Kalau Allah menciptakan dengan sempurna maka tidak akan ada kejahatan dan keburukan lagi. Singkatnya kita dapat menyangkal kesempurnaan Allah. Menurut Hume, sesungguhnya kita tidak tahu pasti tentang apa itu Allah, sebab kita tidak punya pengalaman dunia lain selain dunia ini. Kecenderungan skeptisme Hume mengarah kepada agnotisisme-anggapan bahwa kita tidak dapat mengetahui bahwa Allah itu ada atau tiada.[52]

4.2. Menyusur fatalitas ‘Maha’
Lebih jauh lagi, Hume menentang kenyakinan kaum monoteisme mengenai konsep Maha dari Allah. Pemahaman akan kata “Maha” yang ditempatkan dalam Allah merupakan hasil hubungan akan berbagai kesan inderawi yang muncul berkat daya imajinatif kita. Di alam kita dapat mengenal adanya soifat-sifat baik, sempurna, bijaksana dan sebagainya, dengan kesan-kesan empiris tersebut manusia kemudian menghadirkan suatu figur adi kodrati yang memiliki sifat- sifat tersebut secara sempurna.[53]

Hume juga menolak prinsip kausalitas yang ada dalam kepercayaan tersebut. Maka, menurut Hume, Hakikat agama dapat dikembalikan kepada dorongan perasaan, khususnya perasaan dan harapan yang muncul dari keadaan jiwa yang lemah dan gelisah. Secara dasariah, Hume menilai bahwa agama muncul dari pengharapan dan ketakutan manusia.[54]



4.3. Evolusi Agama dan Agama Kodrati
Menurut Hume ada tiga tahap perkembangan agama yaitu:

a. Politeisme; manusia melihat bahwa di dunia ini ada daya-daya aktif yang menyerupai kekuatannya namun lebih besar. Daya atau kekuatan itu kemudian dipuja sebagai dewa-dewa

b.Monoteisme; peralihan dari politeisme menjadi monoteisme. Hal ini pertama-tama disebabkan oleh adanya kebutuhan manusia unutk melaksanakan ibadah atau juga korban bagi dewa lokal dan mohon perlindungan dari kuasa dewa-dewa lainnya.

c. Semangat pencerahan; semangat pencerahan ini memunculkan aliran ketuhannan yang lebih abstrak dan rasional. Agama ini oleh Hume dinamakan agama kodrati (natural religion) yang di bedakan dari agama yang penuh fanatisme dan irrasional yang disebut agama rakyat (folk religion)[55]


5. Politik: Relasi Mutual dan Integral
“I cannot compare the soul more properly to any thing tahn
to a republic or commonwealth,
in which the several members are united
by the reciprocal ties of government and subordination”
(David Hume, A Treatise of Human Nature)

Menurut pandangan Hume, politik adalah ilmu yang melihat manusia dalam masyarakat yang disatukan dan tergantung satu sama lain, sebagai suatu sains, politik merupakan bagian dari ilmu manusia.[56] Kita dapat membuat pedoman umum dan penjelasan, dan bahkan dalam batas tertentu dapat membuat prakiraan. Hume menyadari bahwa kita tidak dapat sampai pada suatu kepastian didalam bidang politik sebagaimana yang kita capai dalam bidang matematika, sebab kita berurusan dengan kenyataan faktual.[57]

5.1. Asal usul masyarakat

Masyarakat muncul karena kegunaannya bagi manusia lain. Masyarakat bisa menyembuhkan hal-hal yang kurang mengenakkan bila manusia hidup sendiri. Kekuatan kita ditingkatkan dengan menyatukan kekuatan kita masing-masing;dengan pembagian kerja kemampuan kita ditingakatkan; dan dengan saling membantu kita tidak jadi sasaran empuk nasib jelek atau juga kecelakaan. Apabila kekuatan, kemampuan dan keamanan tambahan ini terbentuk dalam masyarakat maka masyarakat akan menguntungkan bagi individu atau juga sesamanya.

Hume berpandangan bahwa kegunaan masyarakat lebih dirasakan daripada diusahakan dengan pertimbangan untuk mengadakan kontrak dan janji. Dalam membicarakan bagaimana masyarakat harus dibentuk, Hume menyatakan bahwa masyarakat tidak hanya harus berguna tapi kegunaannya harus dapat dirasakan oleh individu yang lain.

5.2. Asal usul pemerintahan
Manfaat dari pemerintahan adalah untuk menegakkan dan menjamin keadilan. Keuntungan lain dari adanya pemerintahan adalah untuk menegakan kepentingan bersama dan melaksanakan proyek-proyek secara lebih harmonis. Tanpa pemerintahan sangatlah sulit untuk menentukan manakah yang penting bagi kehidupan bersama , karena masing masing orang dan kelompok akan menomor-satukan kepentingannya sendiri.

Untuk menanggapi bagaimana pemerintahan muncul, Hume menanggapi bahwa pemerintahan muncul dari kenyataan adanya perang. Para pemimpin perang yang berpengaruh itu muncul akibat perang, kemudian memimpin masyarakatnya dengan lebih menekankan pendekatan daripada perintah. Maka muncullah pemerintahan sipil yang memenangkan simpati dan ketaatan rakyat.[58]


5.3. Kodrat dan batas persekutuan
Kewajiban ketaatan pada pemerintahan sipil tidaklah ditarik dari janji bawahan . Dasar utama kewajiban untuk tetap taat adalah mamfaat atau kepentingan, tapi ketaatan itu ditujukan kepada siapa? Pada umumnya salah satu dasar dari kekuasaan sah adalah pemilikan kekuasaan itu dalam jangka waktu yang cukup panjang, entah bentuk suatu pemerintahanatau pergantian raja. Sumber kedua dari kekuasaan umum adalah pemilikan saat ini yang dapat mensyahkan kekuasaan sejauh tidak dipersoalkan bagaimana kekuasaan itu diperoleh dimasa lampau. Sumber ketiga ialah hak yang diperoleh dari kemenangan, yang keempat dan kelima adalah hak berdasarkan hukum positif, pada waktu pembuat hukum menentukan suatu bentuk pemerintahan tertentu.[59]

6. Etika di Persimpangan Perasaan
“Tis one thing to know virtue,
And another to conform the will to it.”
(David Hume, A Treatise of Human Nature)
6.1. Bangunan empiris sistem etika
Etika Hume tidak terlepas dari sikapnya yang empiristis, sehingga ia menolak semua etika yang tidak berdasarkan fakta-fakta dan pengalaman-pengalaman empiris.[60] Menurut Hume,yang dapat kita ketahui hanyalah apa yang kita dapat dari pengalaman inderawi dan pengalaman perasaan dalam diri kita. Ia menegaskan bahwa apa yang menggerakan kita unutk bertindak adalah hasrat, perasaan serta prospek apa yang akan memberi kita kenikmatan atau rasa takut. Dengan demikian bagi Hume masalah baik buruk tidak dianggap obyektif melainkan merupakan bagian dari perasaan subyektif kita.[61] Berdasarkan hal ini ia menolak kemungkinan suatu etika normatif yang menuntut, memerintahkan kepada kita perbutan apa yang wajib atau boleh dan mana yang tidak. Moralitas adalah masalah perasaan, hanya perasaanlah yang memberikan sifat baik atau jahat pada suatu perbuatan tertentu.
6.2. Bangkitnya kesenangan dan simpati
Menurut Hume, prinsip pokok untuk suatu tindakan yang dinilai baik adalah jika suatu tindakan membangkitan kesenangan atau berguna bagi kita atau bagi orang lain dan juga ada persetujuan dari perasaan orang- orang disekitar kita. Hal ini berarti setiap orang bisa memberikan penilaian moral, bahwa ia sering merasa berkewajiban akan suatu hal, baik itu yang bersifat positif yang kita setujui, puji, atau bernilai negatif yang kita tegur dan kita tolak.
Hume menawarkan empat kategori kualitas yang tak dapat direduksi lagi, yang telah membangun dasar keutamaan moral:

1. Yang berguna bagi masyarakat; kebaikan hati dan keadilan
2. Yang berguna bagi kita sendiri; kehendak yang kuat kerajinan, sikap hemat, kepintaran akal, dan kepintaran rohani lainnya.
3. Yang bagi kita sendiri secara langsung menyenangkan; watak gembira, kebesaran jiwa, keberanian dan ketenangan.
4. Yang langsung meyenangakan bagi orang lain; sikap tahu diri, tata karma , humor, kesopanan.[62]
Hume menyatakan bahwa manusia didorong untuk melakukan sifat-sifat positif itu bukan oleh rasio melainkan oleh perasaan moral.[63] Dengan rasio memang kita menghasilkan alat atau cara untuk mencapai kesenangan, namun yang mengemudikan tindakan itu adalah perasaan moral yang bekerja secara subyektif berdasarkan cinta diri (yang berguna agar kita sendiri merasa nikmat) dan simpati (membuat orang lain juga merasa nikmat serta melindungi dia dari rasa takut). Rasa simpati itu, menurut Hume mendorong kita untuk mengusahakan kesejahteraan umum dan keadilan sebagai perlindungan terhadap hak-hak mereka.[64]
Hume juga menambahkan bahwa perasaan keadilan yang dipunyai manusia merupakan sifat buatan bukan alami. Hal ini baru berkembang setelah manusia berhadapan dengan masalah sosial. Setiap orang menyepakati tuntutan keadilan serta mentaatinya melalui pembiasaan unutk mengikuti aturan-aturan berdasarkan simpati-simpati yang kita rasakan bagi orang lain. Untuk terlibat dalam keadilan itu setiap orang harus menaati kesepakatan dan aturan-aturan bersama.[65]

[1] Judul ini disadur dari pernyataan Kant mengenai pengaruh Hume atas sistem filsafatnya: ”Oleh Hume saya dibangunkan dari tidur dogmatis.” Bdk. Hary Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1983, 83
[2] David Fate Norton, David Hume: Commonsense Moralist-Skeptical Metaphysician, Princeton university Press, Princeton 1982, 3.
[3] David Fate Norton, “An Introduction to Hume’s Thought” dalam David Fate Norton (ed.), The Cambridge Companion to Hume, Cambridge University Press, Cambridge 1993, 1.
[4] Bdk . Hardiman Budi.F, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzche, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2004, 87.
[5] Frederick Copleston, SJ., A History of philosophy;V: Hobbes to Hume, Burns Gates & Washbourne Ltd., London, 258.
[6] Bdk. David Fate Norton, “An Introduction to Hume’s Thought”, 1-2
[7] Frederick Copleston, SJ., A History of philosophy;V: Hobbes to Hume, 258
[8] Bdk. Albert. E. Avey, Handbook in the History of Philosophy, Barnes & Nobles Inc, New York 1967, 154
[9] Bdk. Leston Cop Frederick, SJ., A History of philosophy;V: Hobbes to Hume, 259
[10] Simon Petrus L. Thahjadi, Petualangan Intelektual, Kanisius, Yogyakarta 2004, 247
[11] Bdk. Frederick Copleston, SJ., A History of philosophy, V: Hobbes to Hume, 259 dan Linda Smith dan William Harper, Ide-Ide, Kanisius, Yogyakarta 2000, 71.
[12] Linda Smith dan William Harper, Ide-ide, 71.
[13] Bdk. Leston Cop Frederick, SJ., A History of philosophy;V: Hobbes to Hume, 259- Bdk. Norton Fate David, “ An Introduction to Hume’s Thought”, 23 - Bdk . Hardiman Budi.F, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzche, 83
[14] Bdk. Linda Smith dan William Raeper, Ide-Ide, 71.
[15] Bdk. David Fate Norton, “Introduction to Hume’s Thought”, 6.
[16] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, 248.
[17] Bdk. David Fate Norton, “Introduction to Hume’s Thought”, 6 – Frederick Coppleston, SJ, Hidstory of Philosophy, V, 263.
[18] Bdk. David Fate Norton, “Introduction to Hume’s Thought”, 6
[19] David Hume, A Treatise of Human Nature [1738], Penguin Books, London 1985 sebagaimana dikutip dalam Simon Petrus L. Tjhajadi, Petualangan Intelektual, 248.
[20] Bdk. Frederick Coppleston, SJ, History of Philosophy, V, 264.
[21] Bdk. Frederick Coppleston, SJ, History of Philosophy, V, 264.
[22] Linda Smith dan William Raeper, Ide-Ide, 71.
[23] Bdk. Frederick Coppleston, SJ, History of Philosophy, V, 265.
[24] Linda Smith dan William Raeper, Ide-Ide, 72.
[25] Bdk. Nico Syukur Diester, “Descartes, Hume dan Kant: Tiga Tonggak Filsafat Modern” dalam F.X. Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman (eds.), Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Kanisius, Yogyakarta 1992, 61.
[26] Bdk. William Edward Morris, “David Hume” dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2001 pada http://plato.stanford.edu/entries/hume.
[27] Bdk. William Edward Morris, “David Hume” dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2001 pada http://plato.stanford.edu/entries/hume.
[28] Bdk. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, 88.
[29] Bdk. Simon Petrus Tjahjadi, Petualangan Intelektual, 249.
[30] Bdk. Nico Syukur Diester, “Descartes, Hume dan Kant: Tiga Tonggak Filsafat Modern” dalam F.X. Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman (eds.), Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Kanisius, Yogyakarta 1992, 62.
[31] Bdk. Simon Petrus Tjahjadi, Petualangan Intelektual, 249 - F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, 88-89.
[32] Bdk. Alexander Rosenberg, “Hume and the Philosophy of Science” dalam David Fate Norton (ed.), The Cambridge Companion to Hume, Cambridge University Press, Cambridge 1993, 69.
[33] Bdk. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, 89.
[34] Bdk. Albert E. Avey, Handbook in the History of Philospohy, Barnes & Noble, New York 1967, 154.
[35] Zainal Fikri, Kausalitas dalam Filsafat dan Sains, http://zfikri.blogspot.com/2007/03/causality-prediction.html
[36] Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind, Ballantine Books, New York 1991, 337.
[37] Bdk. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, 89.
[38] Albert E. Avey, Handbook in the History of Philospohy, 154.
[39] Bdk. Simon Petrus Tjahjadi, Petualangan Intelektual, 249.
[40] Bdk. Annette Baier, “David Hume” dalam Edward Craig (ed.), Routledge Encyclopedia of Philosophy, Routledge, New York 1998, 547.
[41] Bdk. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, 90.
[42] Bdk. Itpin, Angsa Hitam Bernama ‘Induksi’ dalam http://www.itpin.com/blog/2006/08/24/angsa-hitam-bernama-induksi/
[43] Bdk. Itpin, Angsa Hitam Bernama ‘Induksi’, ibid.
[44] Bdk. John Biro, “Hume’s New Science of the Mind” dalam David Fate Norton (ed.), The Cambridge Companion to Hume, Cambridge University Press, Cambridge 1993, 34-35.
[45] Andrew Roberts, “Social Science History for Budding Theorists” [web edition] pada http://www.mdx.ac.uk/www/study/sshhome.htm> Middlesex University, 1997.
[46] Bdk. Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind, 339.
[47] Dikutip dari sebuah karangan tanpa nama pada http://know-products.stores.yahoo.net/davidhume.html.
[48] Bdk. Peter Fosl, David Hume, November 2000 dalam www.philosophers.co.uk/cafe/phil_nov2000.htm
[49] Bdk. Frederick Copleston, SJ, History of Philosophy, V, 273-274.
[50] Bdk. William Edward Morris, “David Hume” dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2001 pada http://plato.stanford.edu/entries/hume.
[51] Bdk. Simon Petrus Tjahjadi, Petualangan Intelektual, 249.
[52] Bdk. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, 91 - Frederick Coppleston, SJ, History of Philosophy, V, 310.
[53] Bdk. J.C.A. Gaskin, “Hume on Religion” dalam David Fate Norton (ed.), The Cambridge Companion to Hume, Cambridge University Press, Cambridge 1993, 318-321.
[54] Bdk. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta 1980, 56.
[55] Bdk. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta 1980, 56 dan J.C.A. Gaskin, “Hume on Religion” dalam David Fate Norton (ed.), The Cambridge Companion to Hume, Cambridge University Press, Cambridge 1993, 336-341.
[56] Bdk. Knud Haakonssen, “Hume’s Political Theory” dalam David Fate Norton (ed.), The Cambridge Companion to Hume, Cambridge University Press, Cambridge 1993, 192.
[57] Bdk.
[58] Bdk. Annette Baier, “David Hume” dalam Edward Craig (ed.), Routledge Encyclopedia of Philosophy, Routledge, New York 1998, 556-558.
[59] Bdk. Annette Baier, “David Hume” dalam Edward Craig (ed.), Routledge Encyclopedia of Philosophy, Routledge, New York 1998, 556-558.
[60] Bdk. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, 56-57.
[61] Bdk. Frederick Coppleston, SJ, History of Philosophy, V, 335-337.
[62] Bdk. James Fieser, ”Hume Moral Theory” dalam http://www.utm.edu/research/iep/h/humemora.htm#H2
[63] Bdk. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, 56.
[64] Bdk. Frederick Coppleston, SJ, History of Philosophy, V, 337-338.
[65] Bdk. William Edward Morris, “David Hume” dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2001 pada http://plato.stanford.edu/entries/hume.
David Hume: Bangun dari Tidur Dogmatis David Hume: Bangun dari Tidur Dogmatis Reviewed by Afrianto Budi on Jumat, Mei 25, 2012 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Terimakasih Anda sudah mengunjungi blog ini

Diberdayakan oleh Blogger.